Jumat, 23 Desember 2011

PERDAMAIAN DI ACEH, MAHAL HARGANYA

         Tak ada lagi perang di Aceh. Semuanya telah berakhir damai, sejak MoU Helsiki disepakati, 15 Agustus 2005 lalu. Kini Aceh sedang membangun rumahnya, masyarakatnya, ekonominya, sosial budayanya, jalan-jalannya, akses informasinya, syariatnya dan sederet lainnya yang berarti membuka diri untuk menantang arus globalisasi.
          Soal membuka diri, sudah saatnya Aceh melakukan itu. Saat konflik masih mendera, Aceh memang luka, pintu ke Aceh ditutup rapat oleh penguasa. Perang menjadi alasan bagi dunia untuk enggan masuk memberikan kontribusinya. Padalah, siapa yang tak mendambakan sebuah kemajuan.
          Setelah damai ada, mungkinkah Aceh seperti Singapura, Malaysia atau Cina yang sudah lebih maju dari Indonesia? Aceh kini sudah terbuka lebar kepada dunia, siapapun diterima  (asal baik) untuk menginjak tanah Aceh, tanpa perlu khawatir tertembus peluru dari belakang. Orang Aceh juga sudah bebas bepergian dan pulang sesuka hati. Artinya, kita tak perlu lagi berdiam diri, keluarlah untuk melihat dunia dan undanglah tamu untuk membawa dunia ke Aceh.
          Namun sepertinya Aceh tidak bisa benar-benar tidur nyenyak dengan damai. Gejala kekerasan baru di Aceh yang sudah relatif aman dari kekerasan politik dan bersenjata selama beberapa tahun terakhir, kini marak lagi. Bagi orang yang mengamati situasi keamanan di Aceh, khususnya sejak tahun 1998, ketika semua krisis politik dan kekerasan bersenjata dimulai dan memuncak di awal tahun 2000-an, hal ini tidak akan dianggap peristiwa sepele. Karena, gejala dan pola kekerasan yang terjadi jelas menunjukkan bahwa ini bukanlah kriminal biasa. 
           Kita berharap, baik pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh dan seluruh struktur organisasi keamanan dapat merespon dengan cepat berbagai kekerasan bersenjata baik yang terjadi di Aceh, atau dimana saja di Indonesia. Pendekatan dan analisis sosial dengan intervensi sosial sudah banyak direkomendasikan untuk mengatasi masalah-masalah seperti diatas, khususnya diwilayah bekas konflik. Sudah selayaknya hal itu jauh lebih diprioritaskan, dan opsi yang berpotensi mengulang kekerasan serta rasa tidak aman harus dihindari, agar kita tidak terjebak lagi dalam spiral kekerasan yang semakin lama semakin sulit diurai. Proses perdamaian di Aceh mahal sekali harganya. Darah, nyawa dan air mata. Jangan ada lagi yang tertumpah hanya karena kepentingan sesaat saja.