Selasa, 21 Mei 2013
SEJARAH KOTA BANDA ACEH
Kota
Banda Aceh
adalah salah satu kota sekaligus ibu kota provinsi Aceh,
Indonesia. Sebagai pusat pemerintahan, Banda
Aceh menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Banda Aceh sebagai ibukota Kesultanan Aceh
Darussalam lahir ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang
keruntuhan, pada sekitar abad ke-14. Kesultanan Aceh
Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan
Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra
Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian
batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman
Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat
keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri
sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507
Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh
Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah
makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh
Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan
Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada
7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kuta Alam, yang
merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang
menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu
nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian
diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja
Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan
dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali
Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin
serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir,
Daya,
dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai
pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di
prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk dijadikan
pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang
dimaksud (H. Mohammad Said a, 1981:157).
Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di
Banda Aceh tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan
Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap
sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan
terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat
singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam(Rusdi Sufi
& Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73). Lokasi istana Meukuta Alam berada di
wilayah Banda Aceh.
Tahun 1508, kedatangan armada Portugis pertama yang dipimpin Diogo Lopez de Sequeira di perairan Selat Malaka telah ikut mengganggu lalu lintas perdagangan maritim di perairan Aceh. Dari Banda Aceh, pada Mei 1521, Sultan Ali Mughayat Syah berangkat menyerang armada Portugis di perairan Selat Malaka. Serangan ini mengakibatkan laksamana Portugis, Jorge de Britto tewas. Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena pasukan Aceh Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang milik Portugis yang lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya (Said a, 1981:187).
Beberapa catatan dari barat, salah satunya yang ditulis
oleh C.R. Boxer, mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh
Darussalam sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan
mutakhir. Bahkan, sejarawan Portugis sendiri, Fernao
Loper de Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih
banyak memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka sendiri.
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh
Darussalam yang beribukota di Banda Aceh, hanya selama 10 tahun. Menurut
prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin
pertama Kesultanan Aceh
Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah
atau bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Kendati masa pemerintahan
Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun Banda Aceh sebagai pusat peradaban Islam di
Asia Tenggara.
Sebagai penerus tahta Kesultanan Aceh
Darussalam, diangkatlah putra sulung almarhum Sultan Mughayat Syah
yang bernama Salah ad-Din sebagai penguasa Aceh Darussalam yang baru. Di bawah
pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan Aceh
Darussalam menyerang Malaka pada 1537 tetapi
tidak berhasil. Tahun 1539, kepemimpinan Kesultanan Aceh
Darussalam dialihkan kepada anak bungsu Mughayat Syah, yaitu Ala
ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering dikenal juga dengan nama Sultan
Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini perlahan-perlahan mengukuhkan kekuasaan
Kesultanan Aceh
Darussalam dengan melakukan beberapa gebrakan. Menurut Mendez Pinto,
pengelana yang singgah di Aceh pada 1539, balatentara Kesultanan Aceh di bawah
pimpinan Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, terdiri atas laksar-laskar
yang antara lain berasal dari Turki, Cambay,
dan Malabar (Lombard, 2007:65-66). Pada masa ini,
Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan yang ikut
mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji dari
perompakan yang dilakukan armada Portugis.
Selain terus berteguh melawan kaum penjajah dari barat,
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar juga melakukan penyerangan terhadap
kerajaan-kerajaan lokal yang membantu Portugis. Pasukan Aceh Darussalam menyerbu
Kerajaan Malaka sebanyak dua kali (tahun 1547 dan
1568), menawan Sultan Johor karena membantu Portugis, serta berhasil mengalahkan Kerajaan Aru
(Sumatra Timur) pada 1564. Untuk melegalkan kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam atas Kerajaan Aru, maka diangkatlah
Abdullah, putra pertama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, untuk memegang
kendali pemerintahan Kerajaan Aru yang sudah takluk dan
menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam. Namun, berbagai peperangan besar antara Kesultanan Aceh
Darussalam melawan Portugis memakan banyak
korban dari kedua belah pihak yang berseteru. Dalam suatu pertempuran yang
terjadi pada 16 Februari 1568, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar
kehilangan putra tercintanya, Sultan Abdullah yang sedang memimpin wilayah
Kerajaan Aru.
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8
Jumadil Awal tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena putra
mahkota, Abdullah, gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka yang
diangkat untuk meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh
Darussalam adalah anak kedua almarhum yang bergelar Sultan Husin Ibnu
Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah atau yang juga sering dikenal dengan nama Ali
Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah merupakan sosok
pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di bidang politik serta
pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah
berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam upaya mengusir kolonialis
Portugis dari bumi Aceh.
Akan tetapi, pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang
ayah kendati dia sudah melalukan penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575. Ketahanan
Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin limbung ketika Aceh Darussalam
menyerang Johor, di mana Sultan ditangkap dan menjadi
tawanan perang. Akhir pemerintahan Sultan Husin Ibnu Sultan `Ala`uddin Ri`ayat
Syah, yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 7 tahun, berakhir ketika
sang Sultan wafat pada 12 Rabi`ul Awal tahun 987 Hijriyah atau bertepatan
dengan tanggal 8 Juni 1578 dalam tahun Masehi. Sejak wafatnya Sultan Ala ad-Din
Ri'ayat Syah, selama sekitar 33 tahun Banda Aceh sebagai ibukota Kesultanan Aceh
Darussalam mengalami beberapa kali pergantuan Sultan dan
ketidakpastian politik. Sayangnya, tidak ada catatan sejarah memadai yang
menyebutkan bagaimana kondisi masyarakat di Banda Aceh di masa-masa tersebut.
Sepeninggal Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat
Syah, Kesultanan Aceh
Darussalam memasuki masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin
Ri`ayat Syah dipercayakan kepada anaknya, Sultan Muda, namun pemerintahannya
hanya bertahan selama 7 bulan. Karena ketika wafat Sultan Muda masih berusia
belia dan belum memiliki keturunan, maka yang diangkat sebagai penggantinya
adalah Sultan Sri Alam yang merupakan anak dari Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar, penguasa ke-4 Kesultanan Aceh
Darussalam. Akan tetapi, Sultan Sri Alam, yang sebelumnya menjadi wakil
Sultan Aceh di Pariaman (Sumatra Barat), ternyata juga gagal mengelola
kekisruhan politik yang terjadi di Banda Aceh. Hanya dalam 2 bulan memerintah,
Sultan Sri Alam pun mati terbunuh.
Roda pemerintahan Kesultanan Aceh
Darussalam selanjutnya dijalankan oleh Sultan Zainal Abidin.
Pemimpin Kesultanan Aceh
Darussalam kali ini adalah cucu dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar atau anak dari Sultan Abdullah, pemimpin wilayah Aru
yang tewas ketika pertempuran melawan Portugis. Sama seperti penguasa
sebelumnya, Sultan Zainal Abidin juga tidak mampu memimpin Kesultanan Aceh
Darussalam dengan baik. Bahkan, sultan ini merupakan sosok yang
bengis, kejam, dan haus darah. Sultan Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh
demi memuaskan nafsu dan ambisinya. Sultan yang memerintah dengan tangan besi
ini memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas pada 5
Oktober 1579 (Said a, 1981:205).
Setelah era tirani Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus
kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam sempat bergeser dari garis darah yang
mula-mula. Dikisahkan, pada sekitar tahun 1577 Kesultanan Aceh
Darussalam menyerang Kesultanan Perak
dan berhasil menewaskan pemimpin Kesultanan Perak,
yakni Sultan Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17 orang putra-putrinya
dibawa ke Aceh sebagai bagian dari rampasan perang. Putra tertua Sultan Ahmad,
bernama Mansur, dikawinkan dengan seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang bernama Kana. Tidak lama
kemudian, Mansur ditabalkan menjadi pemimpin Kesultanan Aceh
Darussalam menggantikan Sultan Zainal Abidin, dengan gelar Sultan
Ala al-Din Mansur Syah, dinobatkan pada 1579.
Sultan yang bukan berasal dari keturunan langsung
sultan-sultan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ini, berasal dari Perak,
adalah sosok yang alim, shaleh, adil, tapi juga keras dan tegas. Pada masa
kepemimpinan Sultan Mansur Syah, Kesultanan Aceh
Darussalam nuansa agama Islam sangat kental dalam kehidupan
masyarakatnya. Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur Syah mendatangkan
guru-guru agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun, kepemimpinan agamis
yang diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak membuat Aceh Darussalam
berhenti bergolak. Pada 12 Januari 1585, ketika rombongan Kesultanan Aceh
Darussalam dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke Perak, Sultan
Mansur Syah terbunuh.
Gugurnya Sultan Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh
Darussalam kembali rumit untuk menentukan siapa yang berhak menjadi
pemimpin Aceh Darussalam yang selanjutnya. Atas mufakat para orang besar
(tokoh-tokoh adat dan kesultanan yang berpengaruh dan dihormati), maka
diputuskan bahwa yang berhak menduduki tahta Kesultanan Aceh
Darussalam untuk menggantikan Sultan Mansur Syah adalah Sultan
Buyung dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra yang merupakan anak dari
penguasa Indrapura, Sultan Munawar Syah. Namun,
lagi-lagi kekuasaan pucuk pimpinan Kesultanan Aceh
Darussalam tidak langgeng. Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra meninggal
dunia pada 1589 dalam suatu peristiwa pembunuhan. Sebenarnya, yang akan
dijadikan pemimpin Aceh Darussalam sebelumnya adalah Raja Ayim, cucu Sultan
Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda ini juga tewas terbunuh.
Pemimpin Kesultanan Aceh
Darussalam yang berikutnya adalah Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604). Pada era Sultan Ala`udin
Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal berkuasa, kolonialisme Eropa
kian merasuki bumi nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda. Tanggal
21 Juni 1595, armada dagang Belanda yang dipimpin de
Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick, tiba di Aceh. Cornelis memimpin
kapal “De Leeuw” sementara Frederick bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”.
Pada awalnya kedatangan orang-orang Belanda disambut hangat oleh penduduk Aceh.
Akan tetapi, kemunculan kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan
ancaman tersendiri bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya.
Portugis sendiri pada akhirnya dapat
dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam pada 1606 berkat kegemilangan serangan
yang dipimpin oleh Perkasa Alam yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan
mashyur dengan nama Sultan Iskandar Muda.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat.
Terjadilah sedikit ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa
yang berhak menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa
Alam muncul sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat
yang berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat
menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian
terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati
suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama,
Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai
keadaan dengan mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga
kedudukannya sebagai Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda
gagah perkasa ini adalah keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu,
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan
beberapa nama lain, di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah memegang
tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh
Darussalam dan menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun
bertambah sebagai Mahkota Alam. Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang
terbesar ini juga dikenal dengan nama kehormatan Sri Perkasa Alam Johan
Berdaulat. Kadang-kadang orang menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu,
yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat. Pada masanya, Banda Aceh tumbuh kembali sebagai pusat
perdagangan maritim, khususnya untuk komoditas lada yang saat itu sangat tinggi
permintaannya dari Eropa.
Iskandar Muda menjadikan Banda Aceh sebagai
taman dunia, yang dimulai dari komplek istana. Komplek istana Kesultanan Aceh
juga dinamai Dar'ad-Dunnia (Taman Dunia). Kitab Bustanus
Salatin yang diselesaikan oleh Nuruddin
Ar-Raniry pada tahun 1636 menyebutkan bahwa bagian timur Istana Aceh
merupakan taman yang sangat luas. Di tengah taman tersebut telah diperintahkan
untuk digali sungai yang dibina menjadi tempat pemandian, dengan tebing yang
diturap dengan batu dan memiliki bejana-bejana pancuran air. Di dalam taman
tersebut terdapat 4 monumen: (1) bangunan berarsitektur Cina yang dibangun para
ahli dari Cina dan dinamai Balai Rekaan Cina sebagai simbol hubungan khusus
antara Kesultanan Aceh dengan Kekaisaran Cina; (2) bangunan perjamuan makan
untuk pada tamu kenegaraan yang dinamai Balai Gading; (3) Balai Kembang Cahaya;
dan (4) Balai Keemasan untuk peristirahatan. Sayangnya kesemua bangunan ini
diperkirakan dijarah saat agresi Belanda. Bagian tengah dari taman tersebut
adalah sebuah monumen berbentuk gunung yang saat ini dikenal dengan nama Gunongan dengan tinggi 9,5 meter, berbentuk
bunga tiga tingkat, yang memiliki pintu seperti gua. Di sisinya terdapat sebuah
batu berukir dengan motif arabesque di tepi sungai tempat putri mencuci rambut
(dinamakan batu peterana Kembang Lela Mashadi).
Naskah Bustanus
Salatin juga menyebutkan bahwa di dalam taman dan di dekat sungai
tersebut terdapat sebuah monumen berukir kembang seroja dan berwarna nila untuk
pelantikan Sultan yang dinamai Peterana Kembang Seroja. Gerbang memasuki taman
tersebut dinamakan masyarakat dengan nama Pinto Khob. Bangunan pintu Khop
dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan langit-langit berbentuk
busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian atas pintu masuk
berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga menimbulkan fantasi (efek)
stiliran figur wajah dengan mata dan hidung serta rongga pintu sebagai mulut.
Taman ini disebutkan juga ditanami oleh pohon-pohon peneduh dan beragam bunga
yang terus memberikan aroma wangi.
Pemimpin terbesar
Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal dunia pada
28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif
masih muda, 46 tahun. Iskandar Muda dikuburkan dalam komplek istana Darud
Donya, yang kini berada di sisi kiri Pendopo Gubernur Aceh. Menurut T.H.
Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk
“Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3
orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang
merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir
yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama
Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar
Muda adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang berasal dari Gayo.
Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari selir tidak
bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332). Sepeninggal Sultan Iskandar
Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum
bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda.
Kesultanan Aceh
Darussalam pernah pula dipimpin oleh para ratu selama 59 tahun. Ketika Sultan
Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya adalah istrinya yakni Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, yang juga anak perempuan Sultan Iskandar
Muda. Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini
memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa
pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak
asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana. Masa pemerintahan
Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa dilalui
dengan selamat tanpa kebijaksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang
Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena telah
mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda
yang semakin kuat.
Pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang
wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga
beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul
Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk
memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya.
Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi
al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan
oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din
Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu
menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin Kesultanan
Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum
perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri
Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda
berakhir, Belanda mencium peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki
paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris.
Pada akhir abad ke-18, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah
dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam
Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap
Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh dan untuk pertama
kali dalam sejarah nusantara, seorang pimpinan perang Belanda gugur di tangan
pribumi. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, Belanda hanya
dapat menguasai dan mengamankan Banda Aceh untuk kepentingannya. Sedangkan
basis-basis perlawanan baru di daerah pedalaman terus muncul.
Dalam agresi ke-2,
total jumlah tentara pada ekspedisi kedua ini adalah 13.000 orang (389 perwira,
8100 bawahan, 1000 pelayan, 3200 narapidana dan 243 wanita). Sebagian dari
mereka adalah orang yang sudah tertular kolera. Wabah ini selanjutnya masuk ke
Aceh dan secara perlahan namun pasti, membunuh banyak pasukan Aceh. Bahkan
Sultan Aceh yang harus mengasingkan diri bersama pasukannya karena ikut
tertular, juga wafat akibat wabah ini. Evakuasi besar-besaran pasukan Aceh
keluar dari Banda Aceh, langsung dirayakan oleh Van Swieten dengan
memproklamirkan jatuhnya kesultanan Aceh dan merubah nama Banda Aceh menjadi
Kuta Raja. Melihat data nama dan tahun kematian perwira Belanda akibat serangan
pejuang Aceh di Makam Perwira Belanda di Kherkoff, Banda Aceh, korban yang
jatuh di pihak Belanda terus terjadi hingga tahun 1911.
Setelah masuk dalam
pangkuan Pemerintah Republik Indonesia baru sejak 28 Desember 1962
nama kota ini kembali diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Pada
tanggal 26 Desember 2004,
kota ini dilanda gelombang pasang tsunami yang diakibatkan
oleh gempa 9,2 Skala Richter di Samudera Indonesia.
Bencana ini menelan ratusan ribu jiwa penduduk dan menghancurkan lebih dari 60%
bangunan kota ini. Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan Pemerintah Kota
Banda Aceh, jumlah penduduk Kota Banda Aceh hingga akhir Mei 2012 adalah
sebesar 248.727 jiwa. `Aceh tak dapat dipungkiri sebagai bagian NKRI yang tak dapat dipungkiri sampai kapanpun juga, semoga!!!```
Langganan:
Postingan (Atom)