Mengawali
tahun baru 2012, hampir tujuh tahun sudah warga Aceh menikmati masa damai pasca
penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Aceh kini layaknya sedang
menjalankan “bulan madu” otonomi yang luas dalam kerangka NKRI (Neagara Kesatuan
Republik Indonesia). Bahkan melalui mekanisme demokrasi yang lebih terbuka,
para mantan pemberontak GAM telah bermetamorfosa menjadi penguasa baru di Aceh.
Mereka tidak saja mendapatkan amnesti umum, tetapi berhasil menduduki jabatan
strategis, seperti Gubernur, Bupati dan walikota, termasuk akses ekonomi dan
binis yang luas. Tidak hanya itu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) berhasil
didominasi oleh mantan anggota GAM melalui Partai Aceh (PA) yang dibentuk, dan
menjadi pemenang Pemilihan Umum lokal di tahun 2007. Belum cukup, sebuah
istana (Meuligoe) nan megah untuk “Wali Nanggroe” pun sudah disiapkan
sebagai wujud dan simbol kekuasaan otonomi yang sangat luas di Aceh. Pemerintah
Aceh dan pemerintah pusat, kini telah tereintegrasi.
Tapi ironisnya, kejayaan politik ini berbanding
terbalik dengan nasib para korban konflik Aceh, yang hingga kini tidak
mendapatkan sentuhan “keadilan hukum” dari para pemangku kekuasaan tersebut.
Padahal negara telah menjamin hak-hak asasi mereka, baik melalui pasal 18 UUD,
yang mengatur tentang HAM, UU. No. 39/1999 mengenai Komnas HAM dan UU. No.
26/2000 tentang pengadilan HAM.
Seyogyanya,
para korban pelanggaran HAM dan keluarga korban konflik di Aceh bisa
menggantungkan harapan kepada mantan aktivis GAM yang kini memegang tampuk
kekuasaan Legislatif dan Eksekutif Aceh. Sebagai partai dengan kekuatan kursi
yang dominan (33 dari 69 kursi) PA dapat dengan mudah mempengaruhi
partai-partai lain untuk mendukung setiap kebijakan, khususnya dalam penegakan
HAM. Tapi ternyata hal itu tidak dilakukan. DPRA hingga saat ini tidak juga
menuntaskan Qanun pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai
amanah pasal 228 UUPPA dan Pembentukan Pengadilan HAM di Aceh sesuai pasal 229
UUPA. Padahal seharusnya kedua mandat itu sudah harus dilaksanakan
selambat-lambatnya setahun setelah UUPA disahkan.
Tidak
ada alasan sedikitpun bagi Pemerintah Aceh dan DPRA untuk berkilah menghindari
tanggungjawab mereka dalam menjalankan UUPA, khususnya dalam menuntaskan agenda
penegakan HAM. Yang dibutuhkan oleh Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, hanyalah
niat baik, kreatifitas, dan komitmen untuk menghormati, menjalankan dan
melindungi hak-hak asasi manusia di Aceh, khususnya bagi korban pelanggaran HAM
akibat konflik. Hanya dengan cara inilah, retorika mengembalikan “harkat dan
martabat” orang Aceh yang pernah begitu rendah selama konflik bisa
dikembalikan.