Selasa, 17 Januari 2012

MENGGUGAT HAM ACEH


Mengawali tahun baru 2012, hampir tujuh tahun sudah warga Aceh menikmati masa damai pasca penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Aceh kini layaknya sedang menjalankan “bulan madu” otonomi yang luas dalam kerangka NKRI (Neagara Kesatuan Republik Indonesia). Bahkan melalui mekanisme demokrasi yang lebih terbuka, para mantan pemberontak GAM telah bermetamorfosa menjadi penguasa baru di Aceh. Mereka tidak saja mendapatkan amnesti umum, tetapi berhasil menduduki jabatan strategis, seperti Gubernur, Bupati dan walikota, termasuk akses ekonomi dan binis yang luas. Tidak hanya itu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) berhasil didominasi oleh mantan anggota GAM melalui Partai Aceh (PA) yang dibentuk, dan menjadi pemenang Pemilihan Umum lokal di tahun 2007. Belum cukup,  sebuah istana  (Meuligoe) nan megah untuk “Wali Nanggroe” pun sudah disiapkan sebagai wujud dan simbol kekuasaan otonomi yang sangat luas di Aceh. Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat, kini telah tereintegrasi.

         Tapi ironisnya, kejayaan politik ini  berbanding terbalik dengan nasib para korban konflik Aceh, yang hingga kini tidak mendapatkan sentuhan “keadilan hukum” dari para pemangku kekuasaan tersebut. Padahal negara telah menjamin hak-hak asasi mereka, baik melalui pasal 18 UUD, yang mengatur tentang HAM, UU. No. 39/1999 mengenai Komnas HAM dan UU. No. 26/2000 tentang pengadilan HAM. 
         Seyogyanya, para korban pelanggaran HAM dan keluarga korban konflik di Aceh bisa menggantungkan harapan kepada mantan aktivis GAM yang kini memegang tampuk kekuasaan Legislatif dan Eksekutif Aceh. Sebagai partai dengan kekuatan kursi yang dominan (33 dari 69 kursi) PA dapat dengan mudah mempengaruhi partai-partai lain untuk mendukung setiap kebijakan, khususnya dalam penegakan HAM. Tapi ternyata hal itu tidak dilakukan. DPRA hingga saat ini tidak juga menuntaskan Qanun pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai amanah pasal 228 UUPPA dan Pembentukan Pengadilan HAM di Aceh sesuai pasal 229 UUPA. Padahal seharusnya kedua mandat itu sudah harus dilaksanakan selambat-lambatnya setahun setelah UUPA disahkan.
         Tidak ada alasan sedikitpun bagi Pemerintah Aceh dan DPRA untuk berkilah menghindari tanggungjawab mereka dalam menjalankan UUPA, khususnya dalam menuntaskan agenda penegakan HAM. Yang dibutuhkan oleh Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, hanyalah niat baik, kreatifitas, dan komitmen untuk menghormati, menjalankan dan melindungi hak-hak asasi manusia di Aceh, khususnya bagi korban pelanggaran HAM akibat konflik. Hanya dengan cara inilah, retorika mengembalikan “harkat dan martabat” orang Aceh yang pernah begitu rendah selama konflik bisa dikembalikan.