Membangun ‘Aceh Baru’ yang terus diwacanakan dalam berbagai
kesempatan, adalah dalam konteks mempertahankan bangunan perdamaian (peace and
prosperity) dan demokrasi (justice and welfare), tentu dengan tidak melalaikan
pembangunan manusia dalam konteks ke-Acehan, seperti yang dikuatirkan
Hasanuddin Yusuf Adan dalam artikelnya “Membangun Aceh Baru” (Serambi,
26/4/2012), karena prioritas kita masih terkait dengan moment pemilukada.
Melihat realitas pasca pilkada, kita masih belum bisa
menerjemahkan perdamaian hari ini sebagai perdamaian sejati, karena
pertikaian-pertikaian yang tak kentara, perseteruan mayoritas dan minoritas,
menjadikan perdamaian sebagai bangunan yang rapuh dan semu. Kekuatiran inilah
agaknya yang masih maju mundur diperdebatkan dalam wacana di seluruh lini
masyarakat.
Dan seperti diutarakan para filosof, setiap persoalan punya
jalan keluar dan kita harus menemukan sebuah solusi, terjelek sekalipun. Dan
kemauan semua pihak yang terlibat dalam perdamaianlah yang dapat memberikan
makna bagi perdamaian Aceh itu sendiri. Tergantung pada bagaimana
pilihan-pilihan itu dibuat. Apakah kita hanya akan bertindak menjadi penilai
yang menghakimi orang lain yang membuat kesalahan dengan hanya memaki, namun
tidak memberi solusi? Atau memberi solusi yang cet langet karena tidak membumi,
sehingga mustahil bisa dipahami oleh banyak orang?
Dan kiranya pemilukada kemarin yang dimenangkan “orang baru”
yang akan memimpin Aceh ke depan, diyakini oleh banyak pihak menjadi momentum
tepat yang diharapkan, tidak justru menjungkirbalikkan realitas Aceh mundur
jauh ke belakang. Bahkan momentum akan diundangnya Martti Ahtisaari dalam
lawatan ke Aceh menjadi nostalgia untuk mengingatkan bahwa perdamaian yang
telah dibangun dengan susah payah tujuh tahun lalu, yang disepakati sebagai MoU
Helsinki tepatnya pada 15 Agustus 2005, telah menemukan “puncak keberhasilan
peraihan perdamaian yang sesungguhnya”.
Sebuah Aceh baru
Kembali pada gagasan skenario Aceh Meniti Transisi sebagai
penggambaran realitas Aceh dalam 4 versi yang pernah dibangun pada medio 2003
lalu, kita mencoba meng-kilas balik dengan melihat bagaimana versi Aceh Baru
itu telah diterjemahkan hingga hari ini dan skenario tadi coba
disinkronisasikan dengan realitas. Potret Aceh hari ini kembali memberi
gambaran kepada kita dalam ‘skenario’, sementara realitas berjalan sendiri ke
arah yang berlawanan.
Bagaimana gambaran perpolitikan kita, perdamaian,
perekonomian, dan bagaimana kausalitas hubungan eksekutif, legislatif,
yudikatif dan rakyat, menjadi cermin pada bagaimana sebenarnya proses perdamaian
sedang dijaga dan berlangsung. Secara kasat mata berbagai persoalan yang
mewarnai keseharian Aceh, baik yang berada di sekitaran kita maupun di luar
jangkauan mata kita, tetap memberikan informasi bagaimana Aceh, tengah
“diperebutkan” oleh berbagai kepentingan dalam ragam entitas.
Bagaimana demokrasi sedang dimainkan, dengan bumbu
pertikaian yang mewarnai pilkada kemarin, permainan para “jago-jago” dalam
bertarung juga menyiratkan sesuatu tengah terjadi, meskipun di satu sisi
menggambarkan adanya bangunan demokrasi “baik” yang coba sedang dibangun.
Namun, di sisi lain juga terlihat upaya menggunakan demokrasi hanya sekadar
alat untuk memainkan hati nurani rakyat. Karena ada kepentingan yang
menyelimuti banyak pihak dalam mengolah Aceh hari ini menjadi sebuah wahana
mainan baru politik.
Hanya saja dalam kerangka membangun sebuah negeri yang ada
dalam wilayah benar-salah yang abu-abu, bukan bermaksud permisif dan apatis,
kita tidak mempunyai banyak pilihan bukan “tidak ada” pilihan. Sehingga pilihan
untuk membangun sebuah rekonsiliasi, gagasan menyatukan cara pandang untuk
membangun sebuah Aceh adalah sebuah gagasan yang menenangkan dan bersahaja yang
sudah selayaknya kita kedepankan, dari pada mencari kesalahan dan melakukan
gugatan yang tidak menyelesaikan masalah.
Upaya Gubernur Aceh terpilih dari pasangan “Zikir”, untuk
mengandeng rival politik ke dalam “satu rumah yang sama”, Aceh Baru adalah
sebuah gagasan manis yang harus dimaknai adanya keterbukaan dan upaya membangun
sebuah demokrasi Aceh yang lebih sehat. Karena bagaimanapun upaya membawa Aceh
menjadi lebih baik ke depan, pasti akan menemui banyak aral sebagai dinamika
perubahan yang lumrah dan demikian adanya. Tanpa aral barangkali dunia politik
manjadi hampa dan tanpa perjuangan keras, hakikat demokrasi juga menjadi tabeu.
Sehingga diperlukan kedewasaan semua pihak dalam memahami konteks penyelesaian
persoalan ke-Aceh-an hari ini, semisal dengan konsep islah, as-sulh atau suloh
yang mengedepankan perdamaian sebagai pilar dimulainya membangun Aceh yang
berbasis syariah sebagai Laboratorium Islam (Serambi, 26/4/2012).
Membangun pilar baru
Saat ini yang diperlukan adalah mencoba mengajak duduk semua
pihak, bersama mencari titik lemah dari kekurangan Aceh lalu dan mencari
kelebihan yang perlu dikuatkan, pemberian ruang yang lebih lebar dan besar
keterlibatan rakyat yang diwakili oleh organisasi masyarakat sipil (OMS) dengan
seluruh elemennya dalam mengontrol para penguasa pilihan, terutama dalam
mengawal perdamaian, demokrasi dan pembangunan Aceh hari ini.
Pola hubungan simbisosis mutualis harus lebih dikedepankan
dalam membangun hubungan eksekutif, legislatif dan rakyat daripada upaya
memperdaya rakyat dengan membangun hubungan simbiosis parasitis dimana
“penguasa” pilihan rakyat justru menjadi “parasit” yang menggerogoti kedaulatan
dan hak-hak rakyat dalam menikmati bangunan pemerintahan yang telah
dipercayakan kepada para wakil-wakilnya, layaknya pagar yang makan tanaman.
Membangun kedaulatan rakyat yang lebih maju dalam
pengelolaan dan kepemilikan hak-hak rakyat secara sosial, ekonomi maupun
pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat harus dikedepankan untuk
memberikan tanggung jawab peran tidak saja dalam menikmati limpahan pembangunan namun juga, hak sebagai
rakyat yang bisa menikmati perdamaian. Konfrontasi dan pertikaian horizontal
yang selama ini muncul dan “diciptakan” oleh berbagai pihak yang mencoba
memonopoli Aceh, adalah upaya memancing harimau (baca : rakyat), turun gunung.
Dan seperti filosofi mengusir ular tanpa merusak pagar adalah strategi yang
kompromistis dan win-win solution dalam mencoba mencari jalan tengah membangun
demokrasi dan perdamaian di Aceh secara pelan tapi pasti.
Pertikaian lingkungan menjadi isu krusial yang harus
mendapat tempat dalam porsi perhatian besar dan serius dalam membangun Aceh ke
depan, memastikan bahwa lingkungan terutama tambang menjadi sumber daya
alternatif terakhir untuk pemenuhan dana pembangunan. Karena ada persoalan
“permainan” kepentingan dengan mengorbankan lingkungan secara fantastis, lihat saja
fakta hancurnya Rawa Tripa, tergusurnya tanah rakyat di perbukitan di kawasan
Lhoong, yang selama ini seolah difasilitasi oleh penguasa untuk leluasa
bergerak menyebabkan pertarungan horizontal antara rakyat dan penguasa plus
pengusaha yang menjadi “anak emas” penguasa kian menjadi-jadi dan meruncing dan
dapat menjadi bom waktu pemicu konflik baru.
Disadari atau tidak, kita tengah kembali memasuki periode
transisi yang masih dipenuhi warna-warni konflik, pertikaian, perseteruan
kepentingan yang hari ini masih terus bergulir karena belum menemukan titik
temu. Sekalipun mungkin tidak ada jalan terbaik, namun ada pilihan-pilihan
politis sekalipun buruk yang harus diambil untuk mendudukan perdamaian Aceh
pada tempat yang dapat diterima oleh semua pihak.
* Hanif Sofyan, Penulis freelance, tinggal di Kompolek
Indiser Tanjung Selamat, Aceh Besar. Email: acehdigest@gmail.com