Rabu, 11 Desember 2013

Jangan Lagi Usik Aceh


Rakyat Aceh kini sudah hidup aman dan damai, jangan dipolitisasi lagi.


Konflik yang terjadi di Aceh tahun 1989-2005 hanya menyisakan air mata dan derita. Perekonomian masyarakat jadi hancur, tata pemerintahan tidak berlangsung dengan baik, bahkan semua sendi kehidupan masyarakat tidak berjalan normal.

Data yang berhasil dikumpulkan SH menyebutkan, konflik Aceh dimulai saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989-1998, menelan korban masyarakat Aceh sebanyak 6.873 orang. Dalam kasus Simpang KKA pada 1999 jumlah korbannya 200 orang, kekerasan dalam Operasi Wibawa tahun 1999 korbannya sekitar 73 orang, pembantaian Tgk Bantaqiah dan santri pada 1999 korbannya 57 orang, pembantaian di Idi Cut pada 1999 total 28 korban, Operasi Rajawali tahun 2001 membawa korban 1.216 orang, sedangkan pada masa Darurat Militer I dan II tahun 2003-2004 jumlah korbannya 1.326 orang.

Salah seorang warga Aceh yang tinggal di pedalaman Aceh Utara, Husni Mubarak menegaskan tidak ingin konflik yang pernah terjadi di provinsi paling barat Indonesia tersebut kembali terulang. Ayah dua anak tersebut mengaku konflik bersenjata merupakan masa suram dalam hidupnya karena dia tidak bisa bekerja dan hidup dengan nyaman.

“Saat konflik saya hanya bekerja sebagai tukang ojek atau di Aceh disebut RBT, tapi mengantar penumpang ke berbagai pelosok daerah dengan menggunakan sepeda motor sangat berisiko. Sweeping atau razia oleh aparat keamanan, baik TNI maupun Brimob, hampir tiap hari dilakukan. Kalau kami salah menjawab pertanyaan mereka maka bogem mentah mendarat ke tubuh,” sebut pria kelahiran tahun 1975 itu.

Husni tinggal di Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara. Daerah itu merupakan kawasan yang sangat rawan saat konflik terjadi, di mana banyak rekan Husni sesama tukang ojek tidak pulang ke rumah lagi hingga saat ini. “Beberapa teman saya ditemukan telah menjadi mayat, sementara sepeda motornya beberapa kali terlihat dipakai oleh aparat TNI atau Brimob,” ungkapnya.

Husni mengenang, pada 18 April 2000 sekitar pukul 10.00 WIB, ia sedang mengantar seorang warga kampungnya yang ingin berangkat ke Banda Aceh. Warga tersebut meminta Husni mengantarnya hingga ke terminal bus di ibu kota Aceh Utara. Saat dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan aparat TNI yang baru pulang dari operasi.

Kemudian mereka dihentikan dan diinterogasi sehingga penumpangnya ketakutan. Kebetulan penumpang itu tidak lancar berbahasa Indonesia dan sulit memahami pertanyaan yang diajukan oleh aparat TNI tersebut. Akhirnya dia ditinju dan diinjak-injak karena dituduh sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Melihat perlakuan tersebut, Husni menjelaskan bahwa penumpangnya itu tidak lancar berbahasa Indonesia. Namun anggota TNI tersebut malah menuduh dirinya telah mengantar anggota GAM untuk melarikan diri. “Saya juga ikut dipukul hingga muka saya memar dan saat pulang mesti dipapah oleh rekan-rekan ojek lainnya, sementara penumpang saya dilarikan ke rumah sakit (RS),” kenang Husni.

Tidak tahan dengan siksaan, Husni meminta izin pada istri dan anaknya untuk mencari pekerjaan di Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Akhirnya ia berangkat ke Banda Aceh pada 9 Januari 2001. “Di Banda Aceh awalnya saya bekerja sebagai buruh bangunan. Setelah memiliki sedikit modal, pertengahan 2002 saya berjualan di Kaki Lima Pasar Aceh, Kota Banda Aceh, lalu saya membawa istri dan anak saya tinggal di Banda Aceh,” ujar Husni.

Setelah perjanjian damai antara Republik Indonesia dan GAM ditandatangani pada 15 Agustus 2005, Husni mulai pulang ke kampung halaman kemudian kembali menetap di tempat kelahirannya pada awal 2006.

“Konflik menjadi kenangan pahit untuk saya dan semua orang Aceh karena ruang gerak yang sangat terbatas dan susah mencari nafkah. Saya berharap konflik tidak lagi terulang di Aceh. Kasihan masyarakat biasa,” sebut Husni.

Terkait dengan munculnya kontroversi dengan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Husni berharap semua pihak, baik pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat, tidak membawa masalah tersebut ke ranah politik. “Jangan sampai karena masalah tersebut, konflik kembali terjadi di Aceh. Bendera apa pun yang mau disahkan silakan, yang penting kami bisa mencari makan dan menyekolahkan anak-anak,” ungkapnya.

Luka Belum Sembuh
Lain halnya dengan Suryaman, pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Aceh Timur. Saat konflik adalah masa suram bagi dirinya, dimulai harus membayar pajak Nanggroe, hingga pernah disekap oleh kelompok GAM karena dituduh sebagai mata-mata TNI.

“Setiap bulan orang GAM meminta uang sama saya, padahal saya hanya seorang guru  Sekolah Dasar (SD) di pedalaman Aceh Timur. Saya juga pernah satu bulan disekap oleh GAM karena dituduh sebagai mata-mata,” sebutnya.

Akibatnya, Suryaman memboyong anak dan istrinya tinggal di Kota Aceh Timur dan hanya sesekali datang ke Idi Tunong untuk mengajar.

“Saya tidak tahan dengan konflik yang terjadi,” ujarnya. Namun setelah perdamaian berlangsung di Aceh, Suryaman kembali ke Idi Tunong untuk mengajar dan mengelola kebun karet peninggalan orang tuanya, “Sekarang kehidupan saya mulai nyaman. Di samping mengajar, setelah siang saya bisa bekerja di kebun,” ungkap Suryaman.

Bekerja sebagai guru lalu mengelola 2 hektare kebun karet warisan orang tuanya, membuat Suryaman hidup bahagia bersama keluarganya. “Saya sudah sangat bahagia sekarang, saya juga sedang mengumpulkan uang untuk naik haji,” sebutnya sambil tertawa.

Harapan Suryaman tidak jauh berbeda dengan Husni. Ia berharap konflik tidak lagi terjadi di Aceh agar kehidupan masyarakat yang mulai bangkit tidak lagi terpuruk. “Jika konflik kembali terjadi, yang menderita pasti masyarakat karena pertempuran selalu terjadi di permukiman penduduk. Beda kalau pihak yang bertikai tidak menjadikan warga sebagai tempat berlindung atau menjadikan sasaran kemarahan,” kata guru matematika tersebut.

Ditanya tentang kontroversi bendera dan lambang Aceh, Suryaman juga berharap sama dengan Husni agar masalah tersebut dapat segera selesai dan tidak menimbulkan konflik baru di Aceh. “Mau bendera apa saja, yang penting kami tidak harus mengungsi atau tidak bisa bekerja karena jika kami tidak bekerja, anak dan istri kami pasti kelaparan,” sambung Suryaman.

Teungku Khairuddin, salah seorang pemimpin pesantren tradisional di Idi Cut, Aceh Timur, menyebutkan, semua pihak harus menahan diri dan tidak memaksakan kehendak terkait kontroversi bendera dan lambang Aceh. Menurutnya, luka masyarakat saat konflik bersenjata belum sembuh, semua pihak jangan menambah luka tersebut.

“Delapan tahun bukan waktu yang lama untuk menyembuhkan luka masyarakat, anak-anak masih menyimpan dendam, mereka masih belum bisa melupakan kematian ayah atau saudara mereka saat konflik. Jangan sampai karena masalah bendera, dendam kembali muncul di pikiran anak-anak tersebut,” ujar Teungku Khairuddin.

Baginya, konflik adalah masa lalu yang harus dikubur dalam-dalam sehingga tidak lagi muncul keinginan untuk balas dendam. Biarkan itu menjadi kenangan, masyarakat yang hidup sekarang harus berusaha keras agar konflik tidak lagi terjadi di bumi Serambi Mekkah, Khairuddin mengingatkan.

Ditanya tentang pengalaman pahit saat konflik berkecamuk di Aceh, Khairuddin mengaku saat konflik bersenjata, berkali-kali ia harus kehilangan santri karena para santrinya tidak berani pergi mengaji atau tinggal di pesantren. “Berkali-kali saya dianggap melatih GAM atau menjadi mata-mata TNI. Akibat teror tersebut, santri saya ketakutan. Untung, saya tidak mengikuti jejak Teungku Bantaqiah di Beutong, Kabupaten Nagan Raya, yang dibantai bersama puluhan muridnya,” ungkapnya.

Suara Perempuan

Salah seorang aktivis perempuan di Aceh, Raihal Fajri menyebutkan, konflik sudah selayaknya tidak lagi terjadi di Aceh, baik itu konflik melawan pemerintah pusat maupun konflik antarsesama masyarakat Aceh. Semua pihak khususnya pemerintah harus benar-benar menjaga supaya hal tersebut tidak lagi muncul di Aceh.

Menurutnya, rasa tidak aman telah lebih 30 tahun dirasakan oleh masyarakat Aceh, mereka tidak berani keluar rumah bahkan hanya untuk bekerja atau bersilaturahmi dengan keluarga mereka pun mereka takut. Siswa juga tidak bisa sekolah dan banyak masalah lainnya yang telah dirasakan oleh masyarakat.

Raihal punya pengalaman, bagaimana ia selama seminggu tidak bisa masuk kuliah karena angkutan umum tidak berani mengangkut penumpang setelah pemberlakuan darurat militer di Aceh tahun 2003. “Saat itu tentara menggempur pasukan GAM di perbukitan kampung  saya. Setelah itu warga ketakutan dan tidak berani keluar rumah. Akhirnya saya juga tidak bisa kuliah,” sebut Raihal.

Ia menambahkan, pengalaman pahit lainnya adalah ketika dirinya kadangkala terpaksa harus menginap di rumah kawannya karena jika kuliah selesai di atas pukul 18.00 WIB maka  tidak ada lagi angkutan umum yang berani beroperasi. “Padahal rumah saya hanya sektiar 14 kilometer dari Banda Aceh, tapi jam 18.00 sore warga sudah tidak berani keluar rumah,” kenang Raihal.

Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh selama lebih dari 30 tahun tidak hanya menimbulkan korban warga Aceh yang laki-laki, kaum perempuan juga tidak luput dari perlakuan kasar meskipun mereka hanya tinggal di rumah.

“Banyak kaum perempuan yang juga menjadi korban saat konflik Aceh. Mereka umumnya mengalami pelecehan seksual dari aparat keamanan, bahkan tidak mengherankan jika pernah ada sebutan Kampung Janda di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Warga yang mendiami kampung tersebut sebagian besar perempuan, namun statusnya janda karena suami mereka meninggal akibat konflik,” sebut Raihal. (shnews.co)

Kamis, 22 Agustus 2013

Merah Putih Di Langit Aceh



Sedikitnya 3 juta bendera merah putih dipasang di seluruh wilayah di Aceh dalam rangka peringatan HUT Ke-68 Republik Indonesia. Bendera-bendera ini dibagikan oleh aparat pemerintahan dan petugas kepolisian di seluruh Aceh.


Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Zahari Siregar mengatakan, peringatan HUT Ke-68 RI berlangsung meriah di seluruh Aceh. "Tidak perlu meragukan keamanan di Aceh, suasana sudah kondusif sejak lama, dan hari ini peringatan HUT Ke-68 RI diperingati dengan meriah di mana-mana, dan luar biasa sekali," jelas Mayjen Zahari Siregar usai mengikuti peringatan detik-detik proklamasi yang dipusatkan di Blang Padang, Banda Aceh, Sabtu (17/8/2013).

Pangdam juga menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat Aceh yang sudah ikut memeriahkan peringatan HUT Ke-68 RI. Peringatan HUT Ke-68 Kemerdekaan Indonesia ini juga dimeriahkan dengan atraksi terjun payung yang dilakukan oleh 240 prajurit TNI dari Batalyon Linud 320/Kostrad.

Para penerjun ini melakukan atraksi terjun payung di tiga wilayah, yakni Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, Cot Gapu Kabupaten Bireuen, Krueng Sabe Kabupaten Aceh Jaya, dan di Blang Padang Kota Banda Aceh.

Atraksi terjun payung ini dilaksanakan pada pagi hari sebelum peringatan detik-detik proklamasi. Sementara itu, peringatan detik-detik proklamasi di Banda Aceh dipusatkan di Lapangan Blang Padang Banda Aceh.

Gubernur Zaini Abdullah memimpin langsung upacara bendera tersebut. Suasana upacara berlangsung dengan khidmat. Lapangan Blang Padang dipenuhi warga yang ingin menyaksikan langsung peringatan HUT Ke-68 RI tahun ini.

Pemerintah Aceh “Urus rakyatmu, jangan hanya sibuk urus bendera”



Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun meminta pemerintah Aceh tidak melulu membahas isu bendera Aceh. Dia menegaskan, hal terpenting yang harus diupayakan pemerintah Aceh adalah kesejahteraan rakyat Aceh.


“Mengapa itu (bendera Aceh) yang harus ditonjol-tonjolkan. Penting betul bendera-bendera seperti itu. Menurut saya lebih penting kesejahteraan.”

Dia mengatakan, akibat pembahasan politik soal bendera Aceh yang berkepanjangan, program kesejahteraan rakyat Aceh terabaikan. Dia mengakui, ada rakyat Aceh yang memperhatikan persoalan bendera Aceh. Namun, tegasnya, lebih banyak yang lebih menginginkan kesejahteraan.

“Sekian juta rakyat Aceh menginginkan hidup lebih tentram, damai, dibanding beberapa 4.000 sampai 5.000 orang yang menaikkan bendera Aceh. Cuma gara-gara 5.000 orang, tertutup (keinginan) yang sekian juta,” katanya.

Penduduk Aceh saat ini sekitar 3,5 juta jiwa. Dia memberi ilustrasi, saat menjadi Gubernur Sumatera Barat, penduduk provinsi itu mencapai 5,5 juta jiwa, namun hanya diberi jatah APBD sekitar Rp 3,5 triliun. Tetapi, katanya, dengan dana yang lebih terbatas itu, dia membuat program yang menyejahterakan rakyatnya. Padahal, katanya, Aceh yang hanya berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa, memiliki APBD hingga Rp 12 triliun.

“Mestinya kan lebih cepat rakyat Aceh makmur, dengan 4 kali lipat APBD. Tapi karena energi habis selesakan itu saja. Ada saja yang tidak penting dibicarakan, terkait politik. Ini soal turun bendera, naik bendera, habis energi,” pungkas mantan Bupati Solok, Sumatera Barat itu.

Seperti diberitakan, Pemerintah pusat menilai Qanun (peraturan daerah) Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh melanggar UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan PP Nomor 77 tahun 2002 lantaran mirip lambang separatis Gerakan Aceh Merdeka.

Pemerintah Aceh menganggap Bendera dan Lambang Aceh bukan lambang serapartis. Pemerintah pusat sudah berkali-kali bertemu dengan pemerintah daerah dan DPR Aceh untuk membicarakan masalah tersebut.

Gubernur Istiqomah – TNI Sportif



Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meminta Gubernur Aceh, Zaini Abdullah untuk mengambil sikap istiqamah terkait keberadaan Qanun Bendera dan Lambang Aceh.

“Gubernur Aceh harus teguh pendirian dengan apa yang telah di sepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan DPRA tentang Qanun No.3 Tahun 2013 yang telah mendapat persetujuan secara aklamasi seluruh anggota DPRA itu,” kata anggota Komisi A DPRA, Abdullah Saleh.

Qanun Bendera dan Lambang Aceh tersebut kata Abdullah Saleh, sudah dimuat dalam lembaran Aceh dan sudah di evaluasi oleh Pemerintah Pusat, dan ternyata hingga tanggal 27 Mei 2013 yang lalu, Presiden tidak membatalkannya.

“Dengan demikian posisi qanun ini sah dan mempunyai kekuatan hukum. Mengikat keberadaan Qanun Bendera dan Lambang ini juga dalam rangka pelaksanaan MOU Helsinki dan UUPA, oleh karenanya mempertahankan Bendera Aceh ini legal,” jelasnya.

DPRA maupun Pemerintah Aceh berjuang secara konstitusional dan tidak ada pelanggaran hukum dalam kaitan dengan persoalan itu.

“Secara etika DPRA bersama Pemerintah Aceh telah menjelaskan dengan cara baik dan sangat terbuka kepada Pemerintah Pusat bahwasanya Bendera Aceh ini hanya sebatas simbul daerah dan bukan simbul kedaulatan negara,” ujarnya.

Dirinya pun menilai, bahwa yang masih bimbang hanyalah Mendagri. Padahal, publik nasional sudah tidak mempermasalahkannya lagi.

Apalagi hanya pada persoalan selembar bendera, yang penting Aceh masih tetap dalam NKRI. Abdullah juga yakin kalangan TNI pun tidak mempermasalah lagi. Bahkan katanya, kunjungan KASAD beberapa waktu yang lalu ke Aceh sangat bersahabat dan tidak mempersoalkan masalah bendera Aceh.

“TNI kelihatannya lebih sportif, kalau perang ya perang kalau damai ya damai. Saya menghimbau kepada segenap jajaran Pemerintah Pusat utk mengikhlaskan saja keberadaan Bendera Aceh ini biar sama kita bergerak untuk mengurus persoalan kesejahteraan rakyat,” tutupnya.

Rabu, 12 Juni 2013

DILEMA ACEH TENTANG BINTANG BULAN DAN MERAH PUTIH



Sepertinya Aceh tak kunjung usai  diterpa badai  yang datang bertubi-tubi. Persoalan GAM yang telah menelan korban banyak  baik dari pihak aparat TNI dan Polori serta masyarakat Aceh. Persoalan  GAM  yang berlangsung puluhan tahun lamanya dan berakhir di meja perundingan dengan di tanda tanganinya MoU Helsinki 2005 antara wakil Indonesia dengan   pihak GAM.    Mungkin  sudah menjadi suratan takdir ilahi masalah Aceh   yang berposisi di sebelah barat Pulau Sumatera harus terus dihadapkan pada persoalan yang sangat pelik. Kenapa tidak, belum tuntas persoalan satu kini muncul lagi persoalan yang tak kalah susahnya. Tapi tidak ada persoalan yang tak dapat dituntaskan jika ada kemauan dan niat tulus bagi rakyat Aceh. Kini persoalannya apakah para petinggi pemerintah  dan masyarakat Aceh harus tetap condong selalu untuk berhaluan GAM atau Merah Putih.
Jika  pemerintah dan masyarakat dan Aceh ingin mempertahankan lambang bintang bulan yang kemarin disahkan oleh pemerintah Aceh maka persoalan itu akan semakin melilit Aceh.  Karena  pemerintah Indonesia tetap akan berpegang tegauh yang mengatakan bahwa,     semua atribut yang berbau GAM harus ditiadakan sebagaimana yang tertuang dalam MoU Helsinki.    Pengesahan Qanun No.3 Tahun 2013   tersebut selain ditolak Jakarta juga ditolak oleh sebagian masyarakat Aceh di kawasan Gayo dan Aceh Tenggara.
Fenomena tersebut akan menjadi   persoalan luar biasa lagi bagi  rakyat  Aceh  karena  belum hilang trauma perang selama bertahun-tahun. Terlepas dari itu semua, rakyat  Aceh harus hidup dan bertindak arif dalam menyahuti berbagai issu yang menyorot Aceh dan   sehingga pengalaman  konflik yang berkepanjangan  seperti masa-masa lalu tidak terulang lagi.
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa masyarakat  Aceh sudah kenyang berperang sesama sendiri,  mulai dari kasus Cumbok, DI/TII, GAM dan lainnya yang sudah sangat banyak merugikan Aceh.  Lalu apa yang harus kita harapakan untuk mempertahankan lambang dan bendera yang sangat kental dengan  bau aroma GAM? Ingatlah kita bahwa perjalanan hidup ini selalu memihak kepada siapa yang rajin berusaha dan rajin bekerja. Nanti kalau masa berganti, generasi bertukar, maka momentum pun akan berubah lagi sesuai dengan perputaran zaman dan masa. Untuk itu semua Rakyat  Aceh harus memperkuat persahabatan dan persaudaraan dalam konteks Aceh tetap NKRI. Semua itu harus dilakukan oleh generasi sekarang untuk memperkokoh eksistensi generasi mendatang.

Bendera sendiri
Menyimak esensi dan eksistensi Aceh dari masa ke masa sebenarnya Aceh pernah memiliki bendera sendiri sebagai Bendera Kerajaan Aceh Darussalam yang berlambang Cap Sikureueng (Cap Sembilan) dan bendera warna merah yang berlambang pedang (peudeueng) Aceh sehingga wujud syair: di Aceh na alam peudeueng, cap sikureueng lam jaroe raja, dari Aceh sampé u Pahang, hana soe teuntang Iskandar Muda (di Aceh ada alam pedang, cap sembilan digenggam raja, dari Aceh sampi ke Pahang, tiada yang tentang Iskandar Muda).

Kerajaan Aceh sendiri sebelum Aceh menjadi bagian Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil seperti; Kerajaan Meureuhom Daya, Kerajaan Aceh, Kerajaan Pedir, Kerajaan Samudera, Kerajaan Pase, Kerajaan Beunua, dan Kerajaan Linge. Semua itu kemudian dipersatukan sultan Ali Mughayyatsyah menjadi Kerajaan Aceh Darussalam (KAD). Dari sinilah terbentuk sebuah wilayah yang kemudian terkenal dengan nama   Aceh yang ditakuti oleh lawan dan disenangi/dikagumi oleh kawan.
Terkait dengan Bendera dan Lambang Aceh hari ini hasil penetapan Qanun No.3 Tahun 2013, harus diakui bahwa itu sangat beraroma  rentetan dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian terjadi perdamaian dengan Indonesia 15 Agustus 2005 dengan dokumennya MoU Helsinki, kemudian lahir UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dari UUPA tersebutlah turun qanun-qanun yang diperlukan Aceh selaras dengan latar belakang wujudnya UUPA tersebut.
Diakui atau tidak, hasil Pemilu 2009 dan Pemilukada Aceh 2011 dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya telah melahirkan 69 anggota DPRA plus seorang gubernur dan seorang wakil gubernur Aceh. Secara hukum Indonesia mereka telah mendapatkan wewenang untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab legislatif dan eksekutif untuk masa lima tahun terhitung dari masa pengesahannya. Tetapi pemerintah Aceh seenaknya membaut atauran yang bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Kerana walau bagaimapaun juga Aceh adalah merupakan bagian integral Indonesia Raya  hingga kini dan sampai kapanpun juga.  Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal  dan sangat  berlebihan apabila DPRA menetapkan Qanun No.3 Tahun 2013 sebagai Qanun Bendera dan Lambang Aceh dengan fisik benderanya mirip bendera GAM dan lambangnya mirip lambang GAM.

Kalau kita menggunakan logika, ketika GAM sudah berdamai dengan RI dan mengakui negara Indonesia berarti GAM sudah tidak ada lagi, yang berarti semua atribut GAM pun ikut harus musnah  bersamanya. Kalau atribut GAM harus musnah   maka sebenarnya yang dilakukan oleh   DPRA adalah langkah keliru karena sangat mirip  dengan  bendera dan lambang Aceh.  Memang harus diakui bahwa   RI pernah   mengungkapkan bahwa   Aceh boleh meminta apa saja dari Indonesia akan diberikan, kecuali satu, yaitu; merdeka. Tapi bukan berarti boleh mengadopsi lambang-lambang yang berbau GAM.  Sekarang Indonesia   telah memenuhi dan menyambuti ajakan para pemerintah Aceh, maka apa lagi yang harus pemerintah Aceh  menjadi alasan untuk membatlkan bendera dan lambang Aceh tersebut.  Bukankah rakyat Aceh   sudah berpengalaman ketika siaga berunding dengan  pemerintah Indonesia yang mayoritas memihak  suara pemerintah Indonesia. Toh, sekarang kan Aceh  juga yang beruntung masih tetap dalam karidor NKRI. Bersikap arif dan bijaklah wahai pemerintah Aceh  dan jangan selalu menggunting dalam lipatan atau jangan melakukan tipu-tipu Aceh.