Rakyat Aceh kini sudah hidup aman dan damai, jangan dipolitisasi lagi.
Konflik yang terjadi di Aceh tahun 1989-2005 hanya menyisakan air mata dan derita. Perekonomian masyarakat jadi hancur, tata pemerintahan tidak berlangsung dengan baik, bahkan semua sendi kehidupan masyarakat tidak berjalan normal.
Data yang berhasil dikumpulkan SH menyebutkan, konflik Aceh dimulai saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989-1998, menelan korban masyarakat Aceh sebanyak 6.873 orang. Dalam kasus Simpang KKA pada 1999 jumlah korbannya 200 orang, kekerasan dalam Operasi Wibawa tahun 1999 korbannya sekitar 73 orang, pembantaian Tgk Bantaqiah dan santri pada 1999 korbannya 57 orang, pembantaian di Idi Cut pada 1999 total 28 korban, Operasi Rajawali tahun 2001 membawa korban 1.216 orang, sedangkan pada masa Darurat Militer I dan II tahun 2003-2004 jumlah korbannya 1.326 orang.
Salah seorang warga Aceh yang tinggal di pedalaman Aceh Utara, Husni Mubarak menegaskan tidak ingin konflik yang pernah terjadi di provinsi paling barat Indonesia tersebut kembali terulang. Ayah dua anak tersebut mengaku konflik bersenjata merupakan masa suram dalam hidupnya karena dia tidak bisa bekerja dan hidup dengan nyaman.
“Saat konflik saya hanya bekerja sebagai tukang ojek atau di Aceh disebut RBT, tapi mengantar penumpang ke berbagai pelosok daerah dengan menggunakan sepeda motor sangat berisiko. Sweeping atau razia oleh aparat keamanan, baik TNI maupun Brimob, hampir tiap hari dilakukan. Kalau kami salah menjawab pertanyaan mereka maka bogem mentah mendarat ke tubuh,” sebut pria kelahiran tahun 1975 itu.
Husni tinggal di Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara. Daerah itu merupakan kawasan yang sangat rawan saat konflik terjadi, di mana banyak rekan Husni sesama tukang ojek tidak pulang ke rumah lagi hingga saat ini. “Beberapa teman saya ditemukan telah menjadi mayat, sementara sepeda motornya beberapa kali terlihat dipakai oleh aparat TNI atau Brimob,” ungkapnya.
Husni mengenang, pada 18 April 2000 sekitar pukul 10.00 WIB, ia sedang mengantar seorang warga kampungnya yang ingin berangkat ke Banda Aceh. Warga tersebut meminta Husni mengantarnya hingga ke terminal bus di ibu kota Aceh Utara. Saat dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan aparat TNI yang baru pulang dari operasi.
Kemudian mereka dihentikan dan diinterogasi sehingga penumpangnya ketakutan. Kebetulan penumpang itu tidak lancar berbahasa Indonesia dan sulit memahami pertanyaan yang diajukan oleh aparat TNI tersebut. Akhirnya dia ditinju dan diinjak-injak karena dituduh sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Melihat perlakuan tersebut, Husni menjelaskan bahwa penumpangnya itu tidak lancar berbahasa Indonesia. Namun anggota TNI tersebut malah menuduh dirinya telah mengantar anggota GAM untuk melarikan diri. “Saya juga ikut dipukul hingga muka saya memar dan saat pulang mesti dipapah oleh rekan-rekan ojek lainnya, sementara penumpang saya dilarikan ke rumah sakit (RS),” kenang Husni.
Tidak tahan dengan siksaan, Husni meminta izin pada istri dan anaknya untuk mencari pekerjaan di Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Akhirnya ia berangkat ke Banda Aceh pada 9 Januari 2001. “Di Banda Aceh awalnya saya bekerja sebagai buruh bangunan. Setelah memiliki sedikit modal, pertengahan 2002 saya berjualan di Kaki Lima Pasar Aceh, Kota Banda Aceh, lalu saya membawa istri dan anak saya tinggal di Banda Aceh,” ujar Husni.
Setelah perjanjian damai antara Republik Indonesia dan GAM ditandatangani pada 15 Agustus 2005, Husni mulai pulang ke kampung halaman kemudian kembali menetap di tempat kelahirannya pada awal 2006.
“Konflik menjadi kenangan pahit untuk saya dan semua orang Aceh karena ruang gerak yang sangat terbatas dan susah mencari nafkah. Saya berharap konflik tidak lagi terulang di Aceh. Kasihan masyarakat biasa,” sebut Husni.
Terkait dengan munculnya kontroversi dengan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Husni berharap semua pihak, baik pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat, tidak membawa masalah tersebut ke ranah politik. “Jangan sampai karena masalah tersebut, konflik kembali terjadi di Aceh. Bendera apa pun yang mau disahkan silakan, yang penting kami bisa mencari makan dan menyekolahkan anak-anak,” ungkapnya.
Luka Belum Sembuh
Lain halnya dengan Suryaman, pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Aceh Timur. Saat konflik adalah masa suram bagi dirinya, dimulai harus membayar pajak Nanggroe, hingga pernah disekap oleh kelompok GAM karena dituduh sebagai mata-mata TNI.
“Setiap bulan orang GAM meminta uang sama saya, padahal saya hanya seorang guru Sekolah Dasar (SD) di pedalaman Aceh Timur. Saya juga pernah satu bulan disekap oleh GAM karena dituduh sebagai mata-mata,” sebutnya.
Akibatnya, Suryaman memboyong anak dan istrinya tinggal di Kota Aceh Timur dan hanya sesekali datang ke Idi Tunong untuk mengajar.
“Saya tidak tahan dengan konflik yang terjadi,” ujarnya. Namun setelah perdamaian berlangsung di Aceh, Suryaman kembali ke Idi Tunong untuk mengajar dan mengelola kebun karet peninggalan orang tuanya, “Sekarang kehidupan saya mulai nyaman. Di samping mengajar, setelah siang saya bisa bekerja di kebun,” ungkap Suryaman.
Bekerja sebagai guru lalu mengelola 2 hektare kebun karet warisan orang tuanya, membuat Suryaman hidup bahagia bersama keluarganya. “Saya sudah sangat bahagia sekarang, saya juga sedang mengumpulkan uang untuk naik haji,” sebutnya sambil tertawa.
Harapan Suryaman tidak jauh berbeda dengan Husni. Ia berharap konflik tidak lagi terjadi di Aceh agar kehidupan masyarakat yang mulai bangkit tidak lagi terpuruk. “Jika konflik kembali terjadi, yang menderita pasti masyarakat karena pertempuran selalu terjadi di permukiman penduduk. Beda kalau pihak yang bertikai tidak menjadikan warga sebagai tempat berlindung atau menjadikan sasaran kemarahan,” kata guru matematika tersebut.
Ditanya tentang kontroversi bendera dan lambang Aceh, Suryaman juga berharap sama dengan Husni agar masalah tersebut dapat segera selesai dan tidak menimbulkan konflik baru di Aceh. “Mau bendera apa saja, yang penting kami tidak harus mengungsi atau tidak bisa bekerja karena jika kami tidak bekerja, anak dan istri kami pasti kelaparan,” sambung Suryaman.
Teungku Khairuddin, salah seorang pemimpin pesantren tradisional di Idi Cut, Aceh Timur, menyebutkan, semua pihak harus menahan diri dan tidak memaksakan kehendak terkait kontroversi bendera dan lambang Aceh. Menurutnya, luka masyarakat saat konflik bersenjata belum sembuh, semua pihak jangan menambah luka tersebut.
“Delapan tahun bukan waktu yang lama untuk menyembuhkan luka masyarakat, anak-anak masih menyimpan dendam, mereka masih belum bisa melupakan kematian ayah atau saudara mereka saat konflik. Jangan sampai karena masalah bendera, dendam kembali muncul di pikiran anak-anak tersebut,” ujar Teungku Khairuddin.
Baginya, konflik adalah masa lalu yang harus dikubur dalam-dalam sehingga tidak lagi muncul keinginan untuk balas dendam. Biarkan itu menjadi kenangan, masyarakat yang hidup sekarang harus berusaha keras agar konflik tidak lagi terjadi di bumi Serambi Mekkah, Khairuddin mengingatkan.
Ditanya tentang pengalaman pahit saat konflik berkecamuk di Aceh, Khairuddin mengaku saat konflik bersenjata, berkali-kali ia harus kehilangan santri karena para santrinya tidak berani pergi mengaji atau tinggal di pesantren. “Berkali-kali saya dianggap melatih GAM atau menjadi mata-mata TNI. Akibat teror tersebut, santri saya ketakutan. Untung, saya tidak mengikuti jejak Teungku Bantaqiah di Beutong, Kabupaten Nagan Raya, yang dibantai bersama puluhan muridnya,” ungkapnya.
Suara Perempuan
Salah seorang aktivis perempuan di Aceh, Raihal Fajri menyebutkan, konflik sudah selayaknya tidak lagi terjadi di Aceh, baik itu konflik melawan pemerintah pusat maupun konflik antarsesama masyarakat Aceh. Semua pihak khususnya pemerintah harus benar-benar menjaga supaya hal tersebut tidak lagi muncul di Aceh.
Menurutnya, rasa tidak aman telah lebih 30 tahun dirasakan oleh masyarakat Aceh, mereka tidak berani keluar rumah bahkan hanya untuk bekerja atau bersilaturahmi dengan keluarga mereka pun mereka takut. Siswa juga tidak bisa sekolah dan banyak masalah lainnya yang telah dirasakan oleh masyarakat.
Raihal punya pengalaman, bagaimana ia selama seminggu tidak bisa masuk kuliah karena angkutan umum tidak berani mengangkut penumpang setelah pemberlakuan darurat militer di Aceh tahun 2003. “Saat itu tentara menggempur pasukan GAM di perbukitan kampung saya. Setelah itu warga ketakutan dan tidak berani keluar rumah. Akhirnya saya juga tidak bisa kuliah,” sebut Raihal.
Ia menambahkan, pengalaman pahit lainnya adalah ketika dirinya kadangkala terpaksa harus menginap di rumah kawannya karena jika kuliah selesai di atas pukul 18.00 WIB maka tidak ada lagi angkutan umum yang berani beroperasi. “Padahal rumah saya hanya sektiar 14 kilometer dari Banda Aceh, tapi jam 18.00 sore warga sudah tidak berani keluar rumah,” kenang Raihal.
Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh selama lebih dari 30 tahun tidak hanya menimbulkan korban warga Aceh yang laki-laki, kaum perempuan juga tidak luput dari perlakuan kasar meskipun mereka hanya tinggal di rumah.
“Banyak kaum perempuan yang juga menjadi korban saat konflik Aceh. Mereka umumnya mengalami pelecehan seksual dari aparat keamanan, bahkan tidak mengherankan jika pernah ada sebutan Kampung Janda di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Warga yang mendiami kampung tersebut sebagian besar perempuan, namun statusnya janda karena suami mereka meninggal akibat konflik,” sebut Raihal. (shnews.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar