Selasa, 30 April 2013

PENAFSIRAN KELIRU DALAM PENGESAHAN QANUN BENDERA DAN LAMBANG ACEH

SUNGGUH kita dikagetkan bebera waktu yang lalau ketika berbagai media banyak mewartakan pengesahan qanun bendera dan lambang Aceh. Berita tersebut menjadi  magnet bagi  publik Aceh maupun nasional mengenai pengesahan Qanun No.3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang oleh DPRA. Inilah penyulut terbelahnya dukungan, ketika aliran ruang pengetahuan hukum dipandang tunggal. Logika kebenaran substansi hukum ditampik, bahkan dipandang sebelah mata ketika surplus pembenaran versi aktor penguasa (DPRA) menjadi harga mati.

Jangan sampai terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) merumuskan sebuah produk regulasi. Bisa lebih jauh lagi, yakni kekuasaan berlebihan (excessive) dikarenakan power of politic menjadi panglima yang membutakan aturan hukum dalam pembuatan Qanun Lambang dan Bendera Aceh. Tulisan ini intisari penelusuran penulis melalui berbagai diskusi dan tracking media, yang tampaknya ada ketidaksinambungan antara amanah MoU Helsinki dan UUPA dengan realitas (praktiknya).
Salah fatal, jikalau segelintir pemikiran mengatakan telah sah Qanun Bendera dan Lambang diberlakukan. MoU Helsinki poin 4.2 tertulis “Dilarang menggunakan simbol-simbol Gerakan Aceh Merdeka”, seharusnya bukan berpatron kepada poin 1.1.5 saja yang memandatkan hak Provinsi Aceh menggunakan simbol wilayah seperti; bendera dan lambang.

Dalam Pasal 246 ayat 2 UUPA jelas tertera sebagai lambang kekhususan dan keistimewaan. Maksudnya adalah produk bendera dan lambang harus mengidentifikasikan bentuk-bentuk kekhususan dan keistimewaan berdasarkan filosofi, yuridis, dan sosiologis. Anehnya, PP No.77 Tahun 2007, tidak dimasukkan dalam ketentuan “mengingat” Qanun Bendera dan Lambang yang dibuat DPRA itu.

Substansi isi PP No.77 Tahun 2007, menegaskan dilarang menjadikan bendera gerakan separatis sebagai bendera identitas kelokalan, bukan bendera kedaulatan. Lebih rancu lagi dimasukkan sandaran hukum yang relatif sudah lama atas ketentuan bendera dan lambang, yaitu PP No.42 Tahun 1958 tentang Panji dan Bendera Jabatan. Pertanyaannya, apakah PP tersebut masih layak diberlakukan dan dijadikan sandaran hukum?
Jika menilai pada proses pembuatan qanun saja, tidak hidup dinamika penolakan dari partai politik yang berada di parlemen Aceh. Tafsiran logika politik mengarahkan kepada tidak terkonsolidasinya jumlah perwakilan parpol di parlemen ataukah nilai tawar secara kekuatan politik tidak ada. Jumlah kursi Partai Aceh (PA) 33 kursi dari total 69 kursi di DPRA, selebihnya partai nasional, bilamana digabung relatif imbang.

Seharusnya pembuatan Qanun Bendera dan Lambang terasa dinamika argumentatif dan artikulatifnya dalam memahami qanun tersebut sebelum disahkan, tetapi hal tersebut tidak mengalir. Mengapa dinamika berbeda pendapat tidak terjadi? Apakah ruang berdebat dimonopoli hingga mengarah kepada oligarki kekuasaan?

 Identitas keacehan
Saya pribadi sepakat bahwa bendera dan lambang sebagai identitas keacehan. Tujuannya membangkitkan kejayaan Aceh berbentuk identitas dan membangun peradaban yang peduli dengan keluhuran sejarah serta nilai-nilai perekat yang mempersatukan seluruh etnis di Aceh. Akan tetapi dengan syarat utama harus disetujui seluruh lintas masyarakat Aceh, bukan hanya dipercayakan kepada perwakilan mereka di parlemen Aceh.

Mekanismenya harus dikuatkan dari segi penjaringan pendapat, lalu benar-benar dituangkan dalam pembuatan identitas bendera dan lambang tersebut. Maka diperlukan tali pengikat yang menerima atas dasar lahir dari partisipasi aktif, transparansi pembuat tanpa intrik politik, dan ditindaklanjuti masukan bukan hanya sebatas syarat saja tanpa memperdulikan masukan tersebut.
Apabila ada yang mengatakan bahwa pemerintah pusat melalui Mendagri tidak memiliki kewenangan dikarenakan di luar wilayah, harus diingat bahwa pembuatan regulasi hukum masih terkait dalam enam hal yang tidak diberikan kepada Aceh, yaitu kebijakan fiskal dan moneter, agama, keamanan dan pertahanan, hukum, dan hubungan luar negeri. Batasan Mendagri hanya telaahan produk hukum dan melakukan klarifikasi terhadap produk qanun itu.

Pijakan dari telaahan Mendagri pada keilmuan tata negara. Ketika pemerintah pusat mengesahkan bendera dan lambang Provinsi Aceh, tidak menutup kemungkinan memicu provinsi di Indonesia meminta bendera dan lambang yang berasal dari gerakan perlawanan terhadap pemerintah dijadikan sebagai bendera identitas, seperti Bintang Kejora (Papua), Benang Raja (Maluku) dan lainnya.

Persoalan kemudian, jika sikap dan tindakan lost control pemerintah pusat membiarkan saja, manakala Provinsi Aceh tetap berkeras menggunakan bendera dan lambang yang masih menuai kontroversi.  Atas dasar logika demikian itulah besar peluang akan bertikai sesama pihak yang menolak dan mendukung. Jika masih berlangsung tetapi tidak digubris, maka dikeluarkan keputusan presiden untuk menolaknya.
asar penolakannya, ketika sudah berdampak konflik horizontal antar yang pro dan kontra. Kalau tetap diterima, maka akan terkesan pemerintah pusat dikontrol oleh provinsi, padahal provinsi tunduk terhadap aturan yang telah ditetapkan dan disusun pemerintah pusat melalui sistem hukum tata negara.

Cara pandang lain, Mendari tidak pro aktif mengkomunikasikan kepada pihak Pemerintah Aceh dimana terkesan membiarkan hingga terjadinya polemik dan konflik barulah direspons. Idealnya posisi Mendagri sebagai katalisator terhadap polemik QBL di Provinsi Aceh agar menghasilkan solusi konkret.

 Kepentingan politik
Pengesahan Qanun Bendera dan Lambang menjelang Pemilu 2014 secara rational choice melahirkan cara pandang politik, bahwa Qanun Bendera dan ambang sebagai upaya memperkuat posisi tawar salah satu partai di mata pemilih. Jualan isu akan mengatakan “Kita sudah memperjuangkan identitas Aceh melalui bendera dan lambang”. Menariknya lagi menjadi alat konsolidasi mengarahkan masyarakat Aceh memilih salah satu partai. Ini pun akan masuk dalam desain marketing politik partai politik yang telah mengesahkan Qanun Bendera dan Lambang.

Bisa juga peluang Qanun Bendera dan Lambang menaikkan elektabilitas salah satu partai yang kuat menggoalkan produk qanun tersebut. Namun prediksi tidak akan signifikan peningkatan dukungan, karena rakyat Aceh sudah cerdas dari melihat realitas dan pengalaman. Intinya rakyat Aceh tidak akan terjatuh ke dalam keterpurukan lagi dari segi kesejahteraan. Ini akan dipertimbangkan pada Pemilu 2014 nanti.
Mengakhiri tulisan ini, penulis teringat perkataan pemikir politik terkenal yang menyebutkan: “Janganlah ketidakselesaian transisi dan transformasi pemikiran era konflik dikedepankan, seharusnya menjunjung tinggi ketentuan dari sistem yang dibuat melalui aturan hukum yang berlaku”. Mari raih kebersamaan dalam bingkai Aceh baru melalui sifat peduli atas keinginan dan kebutuhan suku minoritas di Aceh, yang idealnya dimasukkan dalam Qanun Bendera dan Lambang Aceh tersebut.