Senin, 02 Januari 2012

PEU HABA ATJEH?


Tak ada lagi perang di Aceh. Semuanya telah berakhir damai, sejak MoU Helsiki disepakati, 15 Agustus 2005 lalu. Kini Aceh sedang membangun rumahnya, masyarakatnya, ekonominya, sosial budayanya, jalan-jalannya, akses informasinya, syariatnya dan sederet lainnya yang berarti membuka diri untuk menantang arus globalisasi.
Soal membuka diri, sudah seharusnya Aceh melakukan itu. Saat konflik masih mendera, Aceh memang luka, pintu ke Aceh ditutup rapat oleh penguasa. Perang menjadi alasan bagi dunia untuk enggan masuk memberikan kontribusinya. Padalah, siapa yang tak mendambakan sebuah kemajuan.
Setelah damai ada sekarang, mungkinkah Aceh kelak akan menjadi seperti Singapura, Malaysia atau Cina yang sudah lebih maju dari Indonesia? Aceh kini sudah terbuka lebar kepada dunia, siapapun diterima - asal baik -  untuk menginjak tanah Aceh, tanpa perlu khawatir tertembus peluru dari belakang.
Orang Aceh juga sudah bebas bepergian dan pulang sesuka hati. Artinya, kita tak perlu lagi berdiam diri, keluarlah untuk melihat dunia dan undanglah tamu untuk membawa dunia ke Aceh.
 Hanya sayang, tentang pelaksanaan syariat Islam yang berlaku di Aceh, hingga sekarang hasilnya kalau boleh dibilang NOL, Sejak di tetapkan sebagai daerah Syariat Islam tahun 2000 lalu, Aceh menjadi daerah yang penuh dengan kemunafikan. Syariat Islam tidak lebih dari sekedar mengatur urusan dalam celana. Syariat Islam menjadikan alasan warga main hakim sendiri jika mendapati pelaku khalwat. Apakah mereka sudah merasa lebih baik ?
Hukum yang tercantum didalamnya hanya ditujukan bagi rakyat kecil, sedangkan mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan seakan tidak tersentuh. Hukum rajam di Aceh dirancang oleh mereka para anggota dewan yang terdepak dari kursi empuk. Seperti kita ketahui 90 persen anggota dewan lama terdepak saat pemilu lalu. Kenapa mereka tidak membuat qanun hukuman pancung bagi koruptor di aceh. Mengapa hanya urusan syahwat saja yang diurus.
Sejak di tetapkan sebagai daerah syariat Islam, Aceh tidak menjadi lebih baik. Sebagian besar perempuan memakai jilbab karena terpaksa dan khawatir ada razia dari personel Polisi Syariat Wilayatul Hisbah (WH). Padahal semua orang Aceh tahu, bahwa WH itu adalah musang berbulu domba. Mereka adalah pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan. Lihat saja, pernah ada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum WH di Aceh.
Intinya Syariat Islam tidak membawa Aceh ke arah lebih baik. Syariat Islam di Aceh tidak lebih urusan syahwat. Jika masalah syahwat, orang Aceh yang berduit akan mencari pelampiasan ke Medan atau Jakarta. Yang tidak punya duit, siap-siap aja digerebek warga.
Setujukah anda?