Tak ada lagi
perang di Aceh. Semuanya telah berakhir damai, sejak MoU Helsiki disepakati, 15
Agustus 2005 lalu. Kini Aceh sedang membangun rumahnya, masyarakatnya,
ekonominya, sosial budayanya, jalan-jalannya, akses informasinya, syariatnya
dan sederet lainnya yang berarti membuka diri untuk menantang arus globalisasi.
Setelah damai ada, mungkinkah Aceh
seperti Singapura, Malaysia atau Cina yang sudah lebih maju dari Indonesia?
Aceh kini sudah terbuka lebar kepada dunia, siapapun diterima - asal niat dan
tujuannya baik - untuk menginjak tanah Aceh, tanpa perlu khawatir tertembus
peluru dari belakang. Orang Aceh juga sudah bebas bepergian dan pulang sesuka
hati. Artinya, kita tak perlu lagi berdiam diri, keluarlah untuk melihat dunia
dan undanglah tamu untuk membawa dunia ke Aceh. ”Aceh menjadi baru dan maju”.
Namun apa benar seperti itu yang
kemudian terjadi di Aceh? Apakah ada ”api dalam sekam” yang setiap saat muncul
kobaran apinya dan melahap apa saja yang ditemuinya?
Apakah pemimpin yang sekarang
memimpin masyarakat Aceh telah benar-benar menjadi ”pelayan rakyat” atau
”pembantu masyarakat”? Mereka yang terpilih atau mengajukan diri menjadi
pelayan masyarakat, mulai dari pucuk pimpinan Aceh (gubernur dan wakilnya)
hingga ke geuchik (kepala desa), apakah sudah merasa dirinya sebagai pelayan
masyarakat? Atau justru yang terjadi adalah para unsur pimpinan di Aceh saat
ini justru malah memposisikan diri sebagai hamba dan pelayan bagi organisasi
yang sudah membesarkan dan mengantarkannya meraih kekuasaan, yakni GAM?
Kalau dugaan-dugaan itu akhirnya
terbukti, maka tidak ada kata dan pilihan lain bagi masyarakat Aceh, kecuali
”selamat datang” kembali ke suasana ketakutan dan keterpurukan, seperti yang
pernah mereka alami berpuluh-puluh tahun lamanya, tempo hari. Sebab, GAM akan
kembali mengobarkan dan memperjuangkan ide kemerdekaannya, terlepas dari rakyat
Aceh setuju ataupun tidak Sehubungan
itu, pasti pemereintah RI, melalui TNI-nya akan meredam aksi GAM yang
mengkhianati kesepakatan damai dan memberontak itu demi tetap tegaknya keutuhan
dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Dan yang terjadi sudah dapat
diduga, yakni Aceh kembali membara dan konflik bersenjata akan terulang
kembali.
Apa itu yang kita inginkan? Tentu saja tidak. Kalau begitu, janganlah
saudara-saudaraku warga Aceh mudah termakan berbagai isu yang dapat
memecahbeah dan mengadudomba sesama kita, ”aneuk aceh”, yang berada di bumi
Serambi Mekkah. Ikuti saja himbauan dan
ajakan para pemimpin kita, pemerintah kita, selama apa-apa yang disampaikannya adalah semata-mata demi kemaslahatan umat
dan membawa kesejahteraan bagi segenap rakyat Aceh.