Sepertinya Aceh
tak kunjung usai diterpa badai yang datang bertubi-tubi. Persoalan GAM yang
telah menelan korban banyak baik dari
pihak aparat TNI dan Polori serta masyarakat Aceh. Persoalan GAM yang berlangsung puluhan tahun lamanya dan berakhir
di meja perundingan dengan di tanda tanganinya MoU Helsinki 2005 antara wakil
Indonesia dengan pihak GAM. Mungkin sudah menjadi suratan takdir ilahi masalah
Aceh yang berposisi di sebelah barat Pulau Sumatera
harus terus dihadapkan pada persoalan yang sangat pelik. Kenapa tidak, belum
tuntas persoalan satu kini muncul lagi persoalan yang tak kalah susahnya. Tapi
tidak ada persoalan yang tak dapat dituntaskan jika ada kemauan dan niat tulus
bagi rakyat Aceh. Kini persoalannya apakah para petinggi pemerintah dan masyarakat Aceh harus
tetap condong selalu untuk berhaluan GAM atau Merah Putih.
Jika pemerintah dan masyarakat dan Aceh ingin
mempertahankan lambang bintang bulan yang kemarin disahkan oleh pemerintah Aceh
maka persoalan itu akan semakin melilit Aceh. Karena
pemerintah Indonesia tetap akan berpegang tegauh yang mengatakan bahwa, semua
atribut yang berbau GAM harus ditiadakan sebagaimana yang tertuang dalam MoU
Helsinki. Pengesahan Qanun No.3 Tahun 2013 tersebut
selain ditolak Jakarta juga ditolak oleh sebagian masyarakat Aceh di kawasan
Gayo dan Aceh Tenggara.
Fenomena
tersebut akan menjadi persoalan luar biasa lagi bagi rakyat Aceh karena belum hilang trauma perang selama bertahun-tahun. Terlepas dari itu semua, rakyat Aceh harus hidup dan bertindak arif dalam
menyahuti berbagai issu yang menyorot Aceh dan sehingga pengalaman konflik yang berkepanjangan seperti masa-masa lalu tidak terulang lagi.
Sebagaimana
kita pahami bersama bahwa masyarakat
Aceh sudah kenyang berperang sesama sendiri, mulai dari kasus Cumbok, DI/TII, GAM dan
lainnya yang sudah sangat banyak merugikan Aceh. Lalu apa yang harus kita harapakan untuk
mempertahankan lambang dan bendera yang sangat kental dengan bau aroma GAM? Ingatlah kita bahwa perjalanan
hidup ini selalu memihak kepada siapa yang rajin berusaha dan rajin bekerja. Nanti
kalau masa berganti, generasi bertukar, maka momentum pun akan berubah lagi
sesuai dengan perputaran zaman dan masa. Untuk itu semua Rakyat Aceh harus memperkuat persahabatan dan
persaudaraan dalam konteks Aceh tetap NKRI. Semua itu harus dilakukan oleh
generasi sekarang untuk memperkokoh eksistensi generasi mendatang.
Bendera sendiri
Menyimak esensi dan eksistensi Aceh dari masa ke masa sebenarnya Aceh pernah memiliki bendera sendiri sebagai Bendera Kerajaan Aceh Darussalam yang berlambang Cap Sikureueng (Cap Sembilan) dan bendera warna merah yang berlambang pedang (peudeueng) Aceh sehingga wujud syair: di Aceh na alam peudeueng, cap sikureueng lam jaroe raja, dari Aceh sampé u Pahang, hana soe teuntang Iskandar Muda (di Aceh ada alam pedang, cap sembilan digenggam raja, dari Aceh sampi ke Pahang, tiada yang tentang Iskandar Muda).
Kerajaan Aceh sendiri sebelum Aceh menjadi bagian Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil seperti; Kerajaan Meureuhom Daya, Kerajaan Aceh, Kerajaan Pedir, Kerajaan Samudera, Kerajaan Pase, Kerajaan Beunua, dan Kerajaan Linge. Semua itu kemudian dipersatukan sultan Ali Mughayyatsyah menjadi Kerajaan Aceh Darussalam (KAD). Dari sinilah terbentuk sebuah wilayah yang kemudian terkenal dengan nama Aceh yang ditakuti oleh lawan dan disenangi/dikagumi oleh kawan.
Bendera sendiri
Menyimak esensi dan eksistensi Aceh dari masa ke masa sebenarnya Aceh pernah memiliki bendera sendiri sebagai Bendera Kerajaan Aceh Darussalam yang berlambang Cap Sikureueng (Cap Sembilan) dan bendera warna merah yang berlambang pedang (peudeueng) Aceh sehingga wujud syair: di Aceh na alam peudeueng, cap sikureueng lam jaroe raja, dari Aceh sampé u Pahang, hana soe teuntang Iskandar Muda (di Aceh ada alam pedang, cap sembilan digenggam raja, dari Aceh sampi ke Pahang, tiada yang tentang Iskandar Muda).
Kerajaan Aceh sendiri sebelum Aceh menjadi bagian Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil seperti; Kerajaan Meureuhom Daya, Kerajaan Aceh, Kerajaan Pedir, Kerajaan Samudera, Kerajaan Pase, Kerajaan Beunua, dan Kerajaan Linge. Semua itu kemudian dipersatukan sultan Ali Mughayyatsyah menjadi Kerajaan Aceh Darussalam (KAD). Dari sinilah terbentuk sebuah wilayah yang kemudian terkenal dengan nama Aceh yang ditakuti oleh lawan dan disenangi/dikagumi oleh kawan.
Terkait
dengan Bendera dan Lambang Aceh hari ini hasil penetapan Qanun No.3 Tahun 2013,
harus diakui bahwa itu sangat beraroma rentetan
dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian terjadi perdamaian
dengan Indonesia 15 Agustus 2005 dengan dokumennya MoU Helsinki, kemudian lahir
UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dari UUPA tersebutlah
turun qanun-qanun yang diperlukan Aceh selaras dengan latar belakang wujudnya
UUPA tersebut.
Diakui atau
tidak, hasil Pemilu 2009 dan Pemilukada Aceh 2011 dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya telah melahirkan 69 anggota DPRA plus seorang gubernur dan
seorang wakil gubernur Aceh. Secara hukum Indonesia mereka telah mendapatkan
wewenang untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab legislatif dan eksekutif
untuk masa lima tahun terhitung dari masa pengesahannya. Tetapi pemerintah Aceh
seenaknya membaut atauran yang bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Kerana
walau bagaimapaun juga Aceh adalah merupakan bagian integral Indonesia
Raya hingga kini dan sampai kapanpun
juga. Oleh karena itu, sangat tidak
masuk akal dan sangat berlebihan apabila DPRA menetapkan Qanun No.3
Tahun 2013 sebagai Qanun Bendera dan Lambang Aceh dengan fisik benderanya mirip
bendera GAM dan lambangnya mirip lambang GAM.
Kalau kita
menggunakan logika, ketika GAM sudah berdamai dengan RI dan mengakui negara
Indonesia berarti GAM sudah tidak ada lagi, yang berarti semua atribut GAM pun
ikut harus musnah bersamanya. Kalau
atribut GAM harus musnah maka sebenarnya yang dilakukan oleh DPRA adalah
langkah keliru karena sangat mirip
dengan bendera dan lambang Aceh. Memang harus diakui bahwa RI pernah mengungkapkan bahwa Aceh
boleh meminta apa saja dari Indonesia akan diberikan, kecuali satu, yaitu;
merdeka. Tapi bukan berarti boleh mengadopsi lambang-lambang yang berbau GAM. Sekarang Indonesia telah
memenuhi dan menyambuti ajakan para pemerintah Aceh, maka apa lagi yang harus pemerintah
Aceh menjadi alasan untuk membatlkan
bendera dan lambang Aceh tersebut. Bukankah
rakyat Aceh sudah berpengalaman ketika siaga berunding
dengan pemerintah Indonesia yang
mayoritas memihak suara pemerintah
Indonesia. Toh, sekarang kan Aceh juga
yang beruntung masih tetap dalam karidor NKRI. Bersikap arif dan bijaklah wahai
pemerintah Aceh dan jangan selalu
menggunting dalam lipatan atau jangan melakukan tipu-tipu Aceh.