Kamis, 11 April 2013

Batalkan Qanun Bendera Aceh


Terbitnya Peraturan Daerah (Qanun) 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh memantik kontroversi secara nasional. Pasalnya, qanun yang ditandatangani 25 Maret lalu tersebut mengesahkan berlakunya bendera Aceh yang sangat mirip atau identik dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Banyak pihak khawatir, penggunaan bendera tersebut berpotensi membangkitkan semangat separatisme yang sempat dimanifestasikan melalui GAM selama 29 tahun. Oleh karenanya, Jakarta pun mengambil tindakan dengan meminta klarifikasi kepada Pemerintah Aceh, seiring dengan munculnya desakan kuat agar qanun tersebut dibatalkan.

Dasar pembentukan qanun oleh Pemerintah Aceh dan DPR Aceh tersebut adalah nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan GAM, yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. MoU itu merupakan dokumen perjanjian perdamaian menandai berakhirnya perlawanan GAM yang digelorakan oleh almarhum Hasan Tiro pada 1976.

Salah satu butir kesepakatan dalam MoU tersebut adalah Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne. Namun, dalam ketatanegaraan ada prinsip utama bahwa sebuah aturan tidak boleh bertentangan dengan aturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam hal ini, qanun atau perda, secara hierarkis merupakan level peraturan perundangan terendah.

Terkait hal tersebut, jauh di atas Qanun 3/2013 ada UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu pasalnya mewajibkan kepala daerah di Aceh memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945, mempertahankan kedaulatan, dan memelihara keutuhan NKRI.

Dalam hal ini, menetapkan bendera yang dahulu menjadi simbol perjuangan separatis GAM sebagai bendera Aceh, bisa digolongkan tindakan yang mengancam kedaulatan dan keutuhan NKRI.

Selain itu, ada Peraturan Pemerintah (PP) 77/2007 tentang Lambang Daerah. Aturan ini secara spesifik mengatur desain lambang dan bendera daerah. Pada Pasal 6 Ayat (4), secara jelas dinyatakan bahwa desain logo (lambang) dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam NKRI.

Di sini jelas bahwa Qanun 3/2013 bertentangan dengan PP 77/2007. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak membatalkan qanun, baik oleh Pemerintah Aceh maupun oleh Kementerian Dalam Negeri. Hal ini wajib dilakukan demi tegaknya supremasi hukum, serta terpeliharanya kedaulatan dan keutuhan NKRI.

Tak bisa dimungkiri, terbitnya Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh tersebut tak hanya berkaitan dengan persoalan hukum formal yang berlaku, tetapi juga bersinggungan dengan aspek politik dan kamtibmas. Munculnya kembali simbol-simbol separatisme dalam bentuk bendera daerah, bisa dianggap sebagai upaya membangkitkan kembali memori rakyat Aceh terhadap GAM. Hal ini secara politik harus diantisipasi sejak dini.

Dari sisi kamtibmas, terbukti ada masyarakat Aceh yang menolak lambang GAM dijadikan bendera Aceh. Artinya, hal tersebut berpotensi memicu konflik horizontal antarwarga. Memang, apa yang sesungguhnya menjadi motivasi dipilihnya lambang GAM sebagai bendera Aceh belum dapat dipastikan. Demikian juga bahwa hal itu bisa berdampak bangkitnya kembali semangat separatisme, adalah baru sebatas dugaan.

Harus disadari, masih banyak hal lain yang menuntut perhatian Pemerintah dan DPRD Aceh, misalnya, bagaimana membangun ekonomi agar rakyat Aceh semakin sejahtera, serta upaya-upaya memantapkan kehidupan rakyat Aceh yang baru saja pulih dari dampak tsunami besar tahun 2006 lalu. Persoalan-persoalan itu tentu saja jauh lebih penting ketimbang urusan lambang dan bendera Aceh.

Alangkah baiknya Pemerintah dan DPR Aceh bersikap arif menyikapi psikologi politik bangsa Indonesia manakala melihat lambang GAM kembali berkibar di seantero wilayah Serambi Mekkah tersebut. Masih banyak hal lain yang mewakili kondisi khas serta watak dan semangat warga Aceh, yang bisa divisualkan sebagai tema lambang dan bendera wilayah.

Pemerintah dan DPR Aceh harus menjaga situasi kondusif yang telah terbangun sejak penandatanganan MoU perdamaian di Helsinki, delapan tahun silam. Para mantan aktivis GAM, yang saat ini menduduki jabatan di eksekutif dan legislatif, juga selayaknya menjaga kepercayaan yang diberikan pemerintah pusat dan seluruh rakyat Indonesia kepada mereka, untuk bersama-sama membangun Aceh dalam kerangka NKRI
.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga harus bersikap tegas terhadap gejala munculnya gerakan separatisme dengan segala manifestasinya. Satu hal yang pasti, Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh, terbukti memantik kontroversi dan nyata-nyata melanggar PP tentang Lambang Daerah, sehingga sudah seharusnya dibatalkan.