Terbitnya
Peraturan Daerah (Qanun) 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh memantik
kontroversi secara nasional. Pasalnya, qanun yang ditandatangani 25 Maret lalu
tersebut mengesahkan berlakunya bendera Aceh yang sangat mirip atau identik
dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Banyak
pihak khawatir, penggunaan bendera tersebut berpotensi membangkitkan semangat
separatisme yang sempat dimanifestasikan melalui GAM selama 29 tahun. Oleh
karenanya, Jakarta pun mengambil tindakan dengan meminta klarifikasi kepada
Pemerintah Aceh, seiring dengan munculnya desakan kuat agar qanun tersebut
dibatalkan.
Dasar
pembentukan qanun oleh Pemerintah Aceh dan DPR Aceh tersebut adalah nota
kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan GAM, yang ditandatangani di
Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. MoU itu merupakan dokumen perjanjian
perdamaian menandai berakhirnya perlawanan GAM yang digelorakan oleh almarhum
Hasan Tiro pada 1976.
Salah
satu butir kesepakatan dalam MoU tersebut adalah Aceh memiliki hak untuk
menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne. Namun,
dalam ketatanegaraan ada prinsip utama bahwa sebuah aturan tidak boleh
bertentangan dengan aturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam
hal ini, qanun atau perda, secara hierarkis merupakan level peraturan
perundangan terendah.
Terkait
hal tersebut, jauh di atas Qanun 3/2013 ada UU 11/2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Salah satu pasalnya mewajibkan kepala daerah di Aceh memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945, mempertahankan kedaulatan, dan
memelihara keutuhan NKRI.
Dalam
hal ini, menetapkan bendera yang dahulu menjadi simbol perjuangan separatis GAM
sebagai bendera Aceh, bisa digolongkan tindakan yang mengancam kedaulatan dan
keutuhan NKRI.
Selain
itu, ada Peraturan Pemerintah (PP) 77/2007 tentang Lambang Daerah. Aturan ini
secara spesifik mengatur desain lambang dan bendera daerah. Pada Pasal 6 Ayat (4),
secara jelas dinyatakan bahwa desain logo (lambang) dan bendera daerah tidak
boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo
dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan
separatis dalam NKRI.
Di
sini jelas bahwa Qanun 3/2013 bertentangan dengan PP 77/2007. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk tidak membatalkan qanun, baik oleh Pemerintah Aceh
maupun oleh Kementerian Dalam Negeri. Hal ini wajib dilakukan demi tegaknya
supremasi hukum, serta terpeliharanya kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Tak
bisa dimungkiri, terbitnya Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh tersebut tak
hanya berkaitan dengan persoalan hukum formal yang berlaku, tetapi juga
bersinggungan dengan aspek politik dan kamtibmas. Munculnya kembali
simbol-simbol separatisme dalam bentuk bendera daerah, bisa dianggap sebagai
upaya membangkitkan kembali memori rakyat Aceh terhadap GAM. Hal ini secara
politik harus diantisipasi sejak dini.
Dari
sisi kamtibmas, terbukti ada masyarakat Aceh yang menolak lambang GAM dijadikan
bendera Aceh. Artinya, hal tersebut berpotensi memicu konflik horizontal
antarwarga. Memang, apa yang sesungguhnya menjadi motivasi dipilihnya lambang
GAM sebagai bendera Aceh belum dapat dipastikan. Demikian juga bahwa hal itu
bisa berdampak bangkitnya kembali semangat separatisme, adalah baru sebatas
dugaan.
Harus
disadari, masih banyak hal lain yang menuntut perhatian Pemerintah dan DPRD
Aceh, misalnya, bagaimana membangun ekonomi agar rakyat Aceh semakin sejahtera,
serta upaya-upaya memantapkan kehidupan rakyat Aceh yang baru saja pulih dari
dampak tsunami besar tahun 2006 lalu. Persoalan-persoalan itu tentu saja jauh
lebih penting ketimbang urusan lambang dan bendera Aceh.
Alangkah
baiknya Pemerintah dan DPR Aceh bersikap arif menyikapi psikologi politik
bangsa Indonesia manakala melihat lambang GAM kembali berkibar di seantero
wilayah Serambi Mekkah tersebut. Masih banyak hal lain yang mewakili kondisi
khas serta watak dan semangat warga Aceh, yang bisa divisualkan sebagai tema
lambang dan bendera wilayah.
Pemerintah
dan DPR Aceh harus menjaga situasi kondusif yang telah terbangun sejak
penandatanganan MoU perdamaian di Helsinki, delapan tahun silam. Para mantan
aktivis GAM, yang saat ini menduduki jabatan di eksekutif dan legislatif, juga
selayaknya menjaga kepercayaan yang diberikan pemerintah pusat dan seluruh
rakyat Indonesia kepada mereka, untuk bersama-sama membangun Aceh dalam
kerangka NKRI
.
Di
sisi lain, pemerintah pusat juga harus bersikap tegas terhadap gejala munculnya
gerakan separatisme dengan segala manifestasinya. Satu hal yang pasti, Qanun
tentang Bendera dan Lambang Aceh, terbukti memantik kontroversi dan nyata-nyata
melanggar PP tentang Lambang Daerah, sehingga sudah seharusnya dibatalkan.