ACEH adalah tempat leluhurku, aku terasa bangga menjadi anak Aceh
seperti mereka yang juga bangga menjadi bangsa Yahudi. Selama ini aku
tak pernah berpikir untuk malu menjadi anak Aceh, bahkan aku bangga
menyebut “Aceh” pada sesiapa yang aku perkenalkan diri.
Kalau aku katakan “Aku mencintai Aceh” mereka juga mencintainya,
berarti perasaan ku tidak ada bedanya dari perasaan mereka yang tumbuh
di Aceh. Jika ku katakan aku merinduinya mereka juga merantau, jadi
sangat sulit menemukan kenapa di kala tidurku sering kusebut “Aceh”,
seperti mana ku dengar pada orang-orang yang terjaga ketika aku pulas.
Karna tak ingin membuang waktu, aku tak mau mencari jawaban dari sebuah
pertanyaan yang sulit, tapi aku buka halaman lain yang lebih gampang
sehingga aku tak nampak kusut sekalipun sedang memikir sesuatu yang
payah dan membebankan.
Matahari keluar terlalu lambat di musim salju, di tambah dengan keadaan
yang kedinginan atau sering di sebut dengan ”minus” tat kala itu di
luar rumah ku, membuat tubuh tak selera membawa diri pada weekend itu,
aku pikir biarlah di rumah hari ini, sekalipun aku tak piknik, minimal
aku sudah bisa simpan uang jatah minyak mobil yang wajib ku isi jika aku
keluar.
Pikiran kubiarkan saja menghayal, kalau aku pulang nanti ke tanah di
mana leluhurku di lahirkan dan juga aku, tentu aku bisa buat sesuatu
untuk mengisi tanah itu jika aku punya uang. Aku bisa mengajak bansa ku
bekerja menghidupkan lahan-lahan kosong (lampoeh soeh), sehingga tanah
yang di tinggal leluhurku jadi hijau, indah, dan menghasilkan uang yang
kemudian akan membuat anak-anak selalu ceria karena mereka bisa mendapat
makanan yang sihat setiap hari.
Jika orang-orang ada kerja, pengangguran sudah tiada, kemiskinan hanya
tinggal nama, semuanya suka memberi dari pada hanya ingin menjadi
sebagai penerima, dan tentu sekali bansaku akan sekolah tinggi-tinggi
karena tidak pernah terhalang dana, dengan itu tanah leluhurku akan di
urus dengan baik untuk kemudian beralih tangan buat anak cucunya.
Aku ingin sekali melihat ”Aceh Goet” (Aceh bagus) tapi agar semua orang
bisa hidup mulia dan bahgia, tapi apa yang harus kulakukannya.
Ok, kita memiliki tanah yang luas serta subur, ini adalah anugrah
tuhan yang harus segera kita manfaatkan, kita bersihkan, kita buat
pagar, kita jadikan lahan pertanian dan peternakan dan pertanian serta
pariwisata. Tapi aku dengar teman-teman bilang, di Aceh susah sekali
menjual hasil panen, harganya terlalu murah, tak sesuai dengan modal dan
tenaga yang kita pergunakan untuk bekerja, jadi bagaimana jika aku juga
harus menerima nasib yang sama nantinya, Oe, begini, kalau tanam
sesuatu harus luas (banyak), jadi sekalipun untung sedikit tapi karena
ia banyak, maka untungpun jadi banyak, apa lagi kalau pemnerintah di
tanah leluhurkun mau mengeksport ke luar negeri, tentu ekonomi para
petani-petani mengembirakan.
Ya, kalau petani ada uang, kedai-kedai akan laku apa saja yang di jual,
uang berputar cepat, semua orang akan menempati posisi masing-masing
sesuai keinginan dan pendidikan serta pengalamannya.
Tapi kita tetap ada kendala, jalan-jalan ke areal lahan kosong (lampoeh
soeh) tidak bagus, kalau musim hujan langsung tak boleh mudik, bagai
mana ini, alah jangan selalu memikirkan yang besar, apa lagi setelah di
pikirkan tak juga bisa di buat, sebab aku taka da uang untuk buat jalan,
begini, lampoeh soeh (lahan kosong) terus di isi dengan pertanian,
peternakan, perikanan, kehutanan dan pariwisata, pasti lah pemerintah
tak mau tinggal diam nantinya, apa lagi di lihat setiap hari berbari
(meureunue) orang pingkul (gulam) hasil panen untuk menjualnya, benar,
jadi sekarang buat dulu apa yang kamu boleh buat, dan mereka akan buat
apa yang bisa mereka buat.
Sepakat, pikiran ku terus terpancing dengan situasi dimana Negara yang
aku diami sekarang, di negara ini 6 bulan tak bisa ditanam apa-apa
sehingga musim salju pergi dan musim semi mulai tiba, tapi mereka bisa
bagi memngurus rakyatnya samapi ke pampers anak-anak (diberi uang 3
bulan sekali), kenapa di tanah leluhurku yang tidak ada salju, tanaman
tak cuti, tapi justru hidup tak mencukupi, ah, ini pasti karena kita
tidak memanfaatkan apa yang dimiliki Aceh dengan baik, ditambah dengan
sikap kepedulian pemerintah yang tidak sungguh-sungguh untuk melawan
kemiskinan dan pengangguran.
Aku lipat jemariku, kuhitung berapa lama sudah Aceh di sebut di bawah
Indonesia (menerima uang dari pusat) kata mereka, tapi kemana uang itu
sehingga jalan untuk petani mencari rezeki tak siap, alah, malas ku
pikirkan, biarlah uang itu dipakai siapa saja, yang penting sekali, aku
harus buat apa saja yang aku bisa untuk tanah leluhurku, jika aku tak
henti-henti berbuat suatu hari “Imajinasi ku” pasti terwujud.
Tarmizi Age (Mukarram)
Inisiator Aceh Goet (AG)
(http://atjehpost.com)