Senin, 13 Mei 2013

DILARANG!!! MENGGUNAKAN SIMBOL GAM



Meskpun peristiwanya sudah berjalan bertahun-tahun namun masih hangat di benak kita bagaimana Aceh yang telah damai kini keadaanya   berubah  kisruh setelah beberapa waktu yang lalu  Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DEPRA) mengesahkan dan mengibarkan bendera Aceh yang sangat mirip dengan simbol sparatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Padahal dalam   Perjanjian Helsinki telah disepakati bahwa simbol GAM tidak boleh dipakai lagi setelah adanya penandatangan. Kata-kata itu juga pernah diucapkan oleh  Jusuf Kalla diberbagai media yang dulu pernah mengawal perjanjian damai antara pemerintah RI-GAM.

Dengan adanya pengesahan  tersebut  pemerintah seharusnya   segera mengambil sikap terkait bendera Aceh yang mirip dengan bendera GAM. Karena hal itu menurutnya sudah tidak sesuai dengan UUD 1945. Dan,  yang berhak menjadi bendera resmi negara hanyalah Sang Merah Putih. Karena merah putih salah satu termasuk pilar negara yang tak boleh diganggu gugat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada  empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI sebagai sesuatu yang final, sehingga pemerintah tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat desa/kelurahan harus mengikuti ketentuan ini, termasuk dalam hal bendera, maka hanya ada satu bendera yakni Bendera Negara  Merah Putih.
Setelah penetapan bendera dan lambang aceh tersebut telah menimbulkan kegamangan di dalam masyarakat saat ini.  Yusril Ihza Mahendra, yang juga mantan menteri sekretaris negera pun mengaku heran dengan penetapan bendera Aceh yang sangat mirip dengan bendera milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurutnya, penetapan bendera milik GAM itu telah melanggar kesepakatan dari hasil pertemuan konsultasi antara Gubernur Aceh dengan sejumlah pejabat Pemerintah termasuk unsur Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).  
Pasca penetapan lambang dan bendera   Gubernur Aceh, Zaini Abdullah juga telah mengundang banyak tokoh. Banyak masukan yang dia terima dalam penentuan bendera Aceh dan lambang Aceh sebagaimana yang ada dalam perjanjian Helsinki, yaitu simbol yang mencerminkan budaya, bukan simbol kedaulatan Aceh. Semua tokoh yang diundang saat itu telah sepakat bahwa penentuan bendera dan lambang jangan menimbulkan polemik dengan pemerintah pusat. Kita berharap  meski qanun sudah disahkan DPR Aceh, namun tetap dapat dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi. Qanun idak boleh bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, salah satunya Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) 7/2007. Semoga  persoalan ini akan dapat diselesaikan secara bermartabat yang tetap berlandaskan pada UU berlaku di wilayah NKRI ini yang meliputi dari Sabang hingga Meuroke. Semoga!!!!!!!!

1 komentar: